Harga beras naik lagi.Inilah fakta yang dilangsir oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik beberapa hari ini.Kenaikan harga beras berkisar Rp. 1.000–Rp. 2.000 per liter disebabkan banyak hal, diantaranya stock (ketersediaan) beras yang semakin menipis di tingkat petani, penggiling, dan pedagang.Bagi orang kaya, kenaikan harga beras bukanlah persoalan yang berarti.Namun bagi orang miskin, kenaikan harga beras adalah ancaman kelaparan.Di Indonesia, potensi ancaman kelaparan ini menghantui 34,96 juta jiwa penduduk miskin atau 15,42% penduduk Indonesia. Dengan demikian, inilah angka yang berpotensi menciptakan kerusuhan sosial di Indonesia.
Laporan FAO menarik untuk kita simak, dimana kenaikan harga bahan pokok (seperti beras) sebagai pemicu kerusuhan di negara-negara berkembang tahun lalu.Sheeran (2009) mengingatkan bahwa orang-orang lapar membuat kerusuhan sekurangnya di 30 negara tahun lalu. Harga pangan yang membumbung menjadi pangkal kerusuhan di Haiti dan terjungkalnya perdana menteri negara tersebut.Ini dikarenakan tanpa pangan, orang akan melakukan tiga opsi, yakni mereka rusuh, bermigrasi, atau mati.
Tak dapat ditafikkan bahwa kejadian ini akan berlangsung dengan pasti di Indonesia, jika tidak mendapat perhatian serius. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat melaporkan bahwa saat hari ini terdapat 19 provinsi –lebih dari ½ provinsi di Indonesia— yang belum bisa mengatasi kelaparan.Sebagai buktinya, peristiwa kelaparan yang berakhir dengan kematian setiap tahunnya terjadi di Yahukimo, Papua.
Selamatkan Petani
Sangat disayangkan, pemerintah lebih memperhatikan korporasi pangan untuk menyediakan pangan di republik ini, ketimbang petani kecil sebagai subyek pembangunan pertanian. Padahal, mayoritas mereka yang kelaparan tersebut adalah petani kecil.Kebijakan food estate adalah contoh betapa petani teralienasi dari orientasi pemerintah membangun pertanian.Lahan seluas 2,49 juta hektar di Merauke yang seyogyanya dapat menyelamatkan petani kecil sebanyak 871.500 KK petani kecil (3,5 juta jiwa) dari kelaparan, malah diberikan kepada 38 korporasi pangan.
Dengan demikian, jalan satu-satunya mengantisipasi kelaparan dan terjadinya kerusuhan sosial dikemudian hari adalah menyelamatkan nasib petani kecil.Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dari berbagai level. Pada level makro, mendorong perombakan total paradigma kerja Departemen Pertanian, yang tidak lagi hanya beroreintasi produksi, melainkan berorientasi kesejahteraan petani kecil.Selain itu, memuluskan agenda reforma agraria dan melakukan gugatan terhadap peraturan perundangan yang tidak berpihak pada petani kecil. Upaya ini dapat terwujud bilamana petani kecil terorganisir dengan baik.
Pada level meso, menggalakkan pola pertanian berkelanjutan yang sesuai dengan konteks agroekologinya. Penguasaan teknologi dan keterampilan cara bertani (budidaya) agroekologi terus ditingkatkan melalui beragam bentuk pendidikan teknis dan strategis kepada petani kecil.Tidak cukup itu saja, perluasan jejaring kerja antar petani perlu dilakukan sebagai upaya saling belajar untuk menciptakan kesadaran kritis antar sesama petani.
Kemudian pada level mikro, memperkuat tradisi yang dimiliki oleh petani.Ikatan kekerabatan, arisan warga, kebijaksanaan tetua adat, dan lain sebagainya adalah lokomotif ekonomi desa sekaligus modal sosial yang selama ini tersisihkan akibat kebijakan liberalisme (neo-liberalisme).Meski demikian, modal sosial yang dimiliki oleh petani masih dapat kita jumpai yang melekat dengan sistem sosial masyarakat kita.Subak di Bali, So’bok di Mamasa, Suf di NTT, dan lain sebagainya merupakan institusi sosial yang mampu menjamin tidak terjadinya kelaparan.Kerusuhan warga akibat kelaparan, hampir tidak kita temukan dimana institusi ini berdiri dengan kokoh.Sifat kegotong-royongan warga melalui kebijaksanaan tetua adat mampu membangun solidaritas untuk mengatasi kelaparan yang terjadi di pedesaan. Upaya memperkuat tradisi adalah jejak “revolusi kebudayaan” yang bertujuan mensejahterakan petani kecil.Meski diperlukan usaha keras untuk mengidentifikasi dan meramu kearifan tradisi yang masih bertahan dan sesuai dengan konteks saat ini.
Akhirnya, sejarah pemberontakan kaum tani akibat kesewenang-wenangan rezim tidak akan terulang bilama petani tidak lagi mengalami kelaparan atau menjadi buruh di tanah airnya sendiri. []
*) Penulis adalah Dosen Sosiologi Pedesaan FEMA IPB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H