Mohon tunggu...
Sofyan Sjaf
Sofyan Sjaf Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial dan Politik Pertanian dan Pedesaan. Juga Sebagai Pegiat Komunitas Agroekologi Kolektif Bogor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Food Estate dan Sesat Pikir

22 Juli 2010   17:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Petani kecil selalu saja ditempatkan pada posisi tidak mampu dan tidak berdaya.Petani kecil diletakkan sebagai subyek yang tidak memiliki kemampuan menyediakan pangan di negeri ini. Ia dianggap sebagai ‘makhluk’ yang harus dikasihani dan diberikan bantuan, meski tanpa dikasihani mereka tetap bertani untuk hidup. Impor pangan yang besar ke Indonesia adalah upaya untuk membantu petani Indonesia yang kumuh, agar mampu memenuhi kebutuhan pangan.Dikarenakan generasi di pedesaan kita sudah tidak cerdas lagi, maka diperlukan perusahaan seperti food estate yang masuk untuk mencerdesakan pemuda desa.Oleh karenanya, tidak salah jika pemerintah saat ini pro “pertanian maju” (baca: food estate) dan memberantas pertanian rakyat.Inilah intisari artikel opini berjudul Food Estate Segarkan Sektor Pertanian Nasional dimuat harian ini tanggal 28 Januari 2010.

Sesat Pikir

Jauh hari karya monumental Cliford Geertz berjudul Involusi Pertanian mengingatkan kita bahwa pembagian atau pemisahan dua macam ekosistem dengan dua macam dinamik yang berlainan –satu berpusat pada perladangan dan yang lain pada persawahan–dapat dipergunakan untuk memahami perbedaan yang menyolok cara penggunaan tanah dan produktivitas pertanian.Pemaksaan dua ekologi yang berbeda tersebut ke dalam satu ekologi dominan, berakibat terhadap terciptanya jurang metabolik (metabolic gap).Inilah yang akan terjadi di Merauke dengan program unggulan Mentan bernama food estate.

Dengan menggeser cara bertanikultur rakyat yang familiar dengan sistem ekologinya ke cara bertani kultur perusahaan ala food estate akan berdampak pada pemutusan relasi dari pertanian yang terintegrasi menjadi komponen-komponen parsial yang harus di pasok terpisah. Siklus nutrisi, energi, dan air yang sedianya dapat dipasok dari alam sekitar, akhirnya menjadi terbuka (dipasok dari luar). Pembuatan infrastruktur irigasi dan mendatangkan bibit-bibit baru (bukan lokal) menjadi keharusan dan kewajiban bertani ala food estate. Ini semua berpotensi menyebabkan serangan hama karena kerusakan ekosistem setempat. Dalam situasi seperti ini, maka pemakaian pestisida akan terus digalakkan dan dalam jangka waktu panjang menjadi ketergantungan. Jika demikian halnya, maka kondisi lingkungan semakin buruk.

Hal semakin parah, jika sistem monokultur diterapkan di areal lahan luas, dimana dampak fundamental adalah keragaman hayati akan rusak dan menjadi punah untuk selamanya. Terlebih jika bertani ala food estate dikembangkan dengan mengkonversi hutan alam, maka akan menciptakan emisi carbon terurai sangat besar (carbon sink and sequestration). Dengan demikian, bagi propinsi Papua ke depan, potensi kelaparan akan semakin memburuk. Tragedi kelaparan Yahokimo, berpotensi meluas di daratan Pulau Papua. Hal ini disebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakmampuan petani serta rakyat untuk membeli karena tidak memiliki uang.

Hasil penelitian yang pernah penulis lakukan bahwa pemaksaan satu ekologi dominan akan memunculkan empat watak kapitalisme. Pertama, mewujudkan “jurang yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala hilang kearifan pertanian rakyat dan mengancam keberadaan komunitas lokal; kedua, sebagai konsekuensi pertama dan yang utama dari jurang tersebut, komunitas lokal akan dihadapkan pada dilema ekonomi kapitalisme dimana pertanian maju merupakan pilihan tunggal dalam mempertahankan produksi dan hidup.Pertanian maju merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi kekuatan modal (kapitalis) ke dalam sistem pertanian kita; dan ketiga, petani hanya menjadi sekedar operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding dengan rantai kapitalis.Manfaat produksi lebih banyak ditentukan dan diserap perusahaan (bibit, pupuk, dan pestisida) berskala besar yang bertidak sebagai pemasok faktor produksi utama petani; dan keempat, konsolidasi kapitalis, dimana kerjasama antara kapitalisme sentral (central capitalism) yang diwakili oleh perusahaan pertanian yang berskala sedang sampai besar dengan kapitalisme pinggiran (periferi capitalism) yang diwakili oleh perusahaan-perusahaan pertanian di daerahdan kaum pemilik modal yang semakin meluas dan menguat.

Logika Petani Kecil

Petani kecil tidak mengemis untuk dikasihani. Mereka hanya memperjuangkan haknya sebagai warga negara di negeri ini.Petani kecil hanya menuntut konsistensi pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 yang melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorangatau atas nama institusi bisnis. Kemakmuran masyarakat hanya dapat dicapai, jika kita memenuhi hak untuk pangan bagi rakyat dan petani kecil ada di dalamnya.Semakin kita mengkonsentrasikan pangan di tangan korporasi agribisnis, namun bukan petani, maka rights to food lebih sulit dipenuhi.

Data Podes 2008 menyebutkan jumlah keluarga buruh tani yang tidak memiliki lahan di Indonesia adalah 8,87 juta.Angka terbesar berada di Jawa dan Bali, yakni 81,6% atau 7,2 juta KK buruh tani.Sementara itu, di Papua hanya terdapat 0.07% (6.088) KK buruh tani.Jika alasan pemerintah bahwa food estate akan membantu menyelesaikan persoalan petani kecil di Indonesia, pertanyaannya mengapa bukan 81,6% KK buruh tani tersebut yang diberi lahan di Merauke atau ditempat lain? Malah pemerintah lebih mengutamakan enam perusahaan (korporasi agribisnis) untuk food estate.Inikah wujud pasal 33 UUD 1945 di negeri ini?

Jadi sangat ironi, jika kita mengatakan bahwa food estate dapat sebagai tempat belajar petani kecil dan menggairahkan generasi muda untuk bertani, sementara akses sumber-sumber produksi (lahan, teknologi, dan modal) tidak pernah diberikan kepada petani.Akhirnya, berikanlah kepercayaan sepenuhnya kepada petani kecil kita untuk membuktikan bahwa mereka bisa memberikan makan 230 juta penduduk Indonesia. []

*) Penulis adalah Staf Pengajar Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun