Apresiasi wanita muda ini terhadap tuna rungu berawal saat kecil dulu diajarkan oleh seorang bapak tua yang juga tuna rungu mengeja namanya menggunakan bahasa isyarat. Dia adalah Dissa Syakina Ahdanisa, putri sulung dari empat bersaudara pemilik Deaf Café Fingertalk di daerah Pamulang Timur, Tangerang Selatan.
Passionnya terhadap bahasa dan anak-anak kecil membuatnya menjadi relawan dan memilih menjadi social worker di beberapa NGO. Sejak kuliah S2 di Australia, Dissa panggilan akrabnya sudah menjadi relawan sebagai pengajar bahasa inggris dan sudah berkeliling ke pelosok dunia.
[caption caption="FingerTalk sebuah kafe di selatan jakarta"][/caption]Sebut saja, Dissa pernah ke India bagian barat, sebuah daerah yang miskin dan terbelakang yang mempunyai kasta paling rendah di India untuk mengajar bahasa Inggris. Ide mendirikan Café Deaf Fingertalk pun lahir saat petualangannya sebagai social worker.
Saat itu Dissa sedang menjadi relawan di Nikaragua, Negara di Amerika Tengah. Bekerja selama tiga bulan (September-November) di tahun 2013, Dissa menjadi assistan guru bahasa Inggris pada pagi hari di kota Granada yang bisa dibilang pusat kota dari negara Nikaragua.
Disela-sela mengajarnya itulah, Dissa menemukan sebuah café yang dikelola oleh para tuna rungu. Café de las Sonrisas (bahasa Spanyol) yang berarti senyuman. Ini titik awal, perempuan lajang yang menguasai setidaknya 3 bahasa asing ini untuk membuat café serupa di Indonesia.
Dengan misi tidak hanya sebuah café tapi juga menjadi tempat pusat pelatihan tunarungu, akhirnya pada 3 Mei 2015 café Deaf Fingertalk resmi berdiri. Restu dari sang ibu semakin menguatkan niat Dissa, kehati-hatiannya saat membuka café dan kesabaran semua pihak yang mampu tetap eksis selama 1 tahun ini. Karena Dissa tidak menutup kemungkinan ada sebagian kecil orang yang memandang bahwa dia mempergunakan para tuna rungu untuk mendatangkan penghasilan lebih untuk pribadinya.
“Fingertalk hanya sebuah café seperti pada umumnya, tidak lebih..” Dissa menegaskan kalau ada yang bertanya mengenai Café Deaf Finger talk. Kalau memang semua pengelolanya adalah tunarungu itu adalah keunikan tersendiri.
[caption caption="Perwakilan Ketapels menerima plakat dari Owner Cafe Deaf FingerTalk Dissa Syakina Ahdanisa"]
Ibu Pat adalah mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin). Sebagai instruktur bahasa isyarat murid ibu Pat sudah banyak, bahkan para interpreter isyarat yang sering kita lihat di TVRI adalah anak asuhnya. Sampai saat inipun ibu Pat masih menjadi salah satu konsultan para interpreter tersebut untuk program berita di stasiun televise plat merah ini.
Ibu Pat secara khusus membina para deaf di workshop Fingertalk yang memproduksi kerajinan tangan yang kreatif berdasarkan keahlian yang bisa mereka kembangkan. Beberapa diantara seperti, menjahit, menyulam, membatik, membuat vas bunga dan lainnya.
[caption caption="Rifki Feriandi memberikan buku sebagai cinderamata kepada Cafe Deaf Fingertalk yang diwakili oleh sala satu kru di cafe tersebut"]