Mohon tunggu...
Satto Raji
Satto Raji Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Freelance Worker for Photography, Content Writer, Sosial Media,

Belajar Untuk Menulis dan Menulis Untuk Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanti Babak Baru Bonge-Jeje CS Pasca Pembubaran Citayam Fashion Week

29 Juli 2022   21:08 Diperbarui: 31 Juli 2022   01:30 1599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari sekian banyak spot estetik di Jakarta, kenapa harus di Dukuh Atas? (photo/pribadi)

Bonge dan Jeje dua nama yang dalam kurun waktu satu-dua bulan ke belakang selalu muncul di timeline sosial media bahkan diliput oleh media mainstream baik online maupun televisi. 

Ketenaran mereka ibarat roket yang melesat ke udara menjauhi orbit bumi, tidak ada yang menyangka, pemuda-pemudi kawasan pinggiran Jakarta ini bisa begitu cepat viral dan dikenal, tidak seperti nasib ribuan konten kreator yang harus berjibaku agar bisa media daring.

Tulisan ini adalah sebuah opini dari saya yang sukanya emang (sok) mengamati pertempuran dunia maya dan sekitarnya. Sebuah analisa yang mungkin tidak selalu dibarengi teori akademis tapi lebih melihatnya dari kacamata penikmat sosial media.

Mari kita mulai

Bonge dan Jeje konon viral di platform tiktok, saya gak terlalu ngikutin, justru konten mereka saya lihat di platform twitter. 

Jeje waktu itu diwawancara karena kemesraan bersama sang pacar mencuri perhatian salah satu konten kreator yang cerdik mengambil momen, Jeje yang mesra "bergelendot" tanpa risih mengalungkan tangan ke leher sang pacar, sementara si pacar cool saja dengan dandan khas, menjawab sekenanya saat ditanya.

Sebelumnya saya juga sering terpapar konten mengenai anak ABG yang memanfaatkan kawasan Sudirman (Dukuh Atas) untuk berkumpul, kontennya relatif sama, bertanya mengenai daerah asal, hubungan/status, jajan apa saja, mengeluarkan duit berapa banyak sampai harga pakaian mereka yang bermerk internasional tapi kualitas KW.

Kalo Bonge, pertama kali saya lihat ketika membuat sponsor konten Dunia Fantasi. Bonge yang harus rela pacarnya diambil teman karena Bonge tidak berani naik wahana yang memacu adrenalin. Konten yang dibuat sangat sederhana, akting yang biasa saja, tapi justru menarik perhatian kita.

Pertanyaannya, di antara puluhan tempat estetik di Jakarta yang dibangun pemprov DKI, kenapa mereka senang berkumpul dikawasan Dukuh Atas? 

Sebuah lokasi yang dahulu selalu jadi transit para pekerja urban saat berangkat atau pulang kantor. Jawabannya hanya satu, karena ada stasiun kereta.

Akses Commuter line memudahkan para remaja Bojong Gede (Bonge dari kata Bojong Gede), Citayam dan Bogor sekitarnya untuk bisa main di kawasan paling elit, paling sibuk di Ibukota. Bahkan remaja dari Bekasi dan Tangerang pun bisa punya akses menuju daerah ini.

Meledaklah kawasan ini menjadi hits dan menjadi daerah yang (seakan) wajib dikunjungi para konten kreator. Sebenar ada beberapa lokasi yang sempat tenar dan jadi sasaran konten kreator. 

Misal jembatan "melintir warna-warni" dikawasan Senayan, saya gak tau harusnya menyebut apa, tapi ini adalah JPO akses menuju halte trans. Lalu ada juga JPO Phinisi yang juga jadi lokasi paling dicari. Tapi semua tenggelam ketika Citayam Fashion Week melanda ibukota.

Dari sekian banyak spot estetik di Jakarta, kenapa harus di Dukuh Atas? (photo/pribadi)
Dari sekian banyak spot estetik di Jakarta, kenapa harus di Dukuh Atas? (photo/pribadi)

Citayam Fashion Week memanfaatkan zebra cross sederhana yang bisa kita temui dimana saja, menjadi tempat lenggak-lenggok semacam runaway di dunia fashion. 

Zebra cross yang panjangnya tidak lebih dari 10 meter itu jadi fenomenal yang akhirnya terpaksa dibubarkan karena sudah meresahkan pengguna jalan.

Di area sekitar zebra cross, para pemuda dengan dandanan nyentrik berjalan kesana-kemari tanpa sungkan, tanpa terintimidasi diantara "selangkangan" gedung-gedung tinggi yang (seakan) memandang rendah kearah mereka. 

Semakin hari, semakin tidak bisa dibendung, diawal hanya ada pemuda pinggiran, berubah menjadi para konten kreator kawakan mencari peruntungan membuat konten di daerah tersebut. 

Salah? tentu tidak, lokasi yang sama, tema yang sama justru membuat para konten kreator handal ini berfikir bagaimana konten mereka berbeda dari yang lain. Atau minimal berbeda dari para penggagas awal Citayam Fashion Week.

Nasib Bonge dan Jeje Selanjutnya

Tidak ada yang tahu nasib akan membawa kemana, Bonge yang hanya sekolah sampai kelas 3 SD, pengamen jalanan, akhirnya bisa membahagiakan orang tuanya. 

Mimpi Bonge ingin mengajak si Ibu ke Mekkah, sebuah mimpi yang tidak hanya dimiliki Bonge seorang, saya pun punya mimpi seperti itu.

Citayam Fashion Week resmi dilarang, sebenarnya bukan penggunaan namanya yang dilarang, tapi lebih ke penggunaan zebra cross yang digunakan sebagai runaway fashion show atau badan jalan yang sering digunakan untuk lahan parkir ilegal oleh para pengunjung yang tidak berbudiman, orang berada yang ikutan nimbrung momentum.

Saya yakin, pemuda Bojong Gede, Citayam dan sekitar tidak ada yang membawa kendaraan pribadi. Bukan tidak punya, tapi lebih nyaman naik Commuterline.

Kemeriahan Citayam Fashion Week membawa rejeki dadakan super kilat buat beberapa pihak. Gerai kopi Janji Jiwa yang tepat berada di sejajaran zebra cross selalu mendapat eksposure ketika para konten kreator melintas. 

Tidak sedikit para ABG yang tiba-tiba banyak mendapat endorse pakaian ketika sedang nongkrong di kawasan tersebut. Walau mungkin sifatnya barter, tentu tidak jadi masalah.

Para brand lokal pun langsung gerak cepat memanfaatkan momentum yang mungki cuma hadir 70 tahun sekali saat Indonesia telah merdeka. 

Para tim media sosial brand lokal langsung terjun mencari ambasador ABG yang mau diajak kolabs dengan imbalan barter produk. Tidak jadi masalah, brand senang, para ABG pun riang mendapat outfit baru.

Bahkan ada e-commerce yang secara terang-terangan mencantumkan Citayam Fashion Week disalah satu program mereka.

Bonge-Jeje dan beberapa lingkaran mereka mungkin lebih beruntung, karena mendapat nilai rupiah dari brand yang ingin mengajak mereka kolabs. 

Atau bahkan saat diundang ke beberapa talkshow televisi dan youtube artis papan atas. Tapi bagaimana nasib mereka setelah lokasi Citayam Fashion Week di "rapihkan" oleh pemda DKI?

Kalau dilihat sejarah, kita punya bukti bahwa sosok yang viral secara tidak sengaja, tanpa mempunyai keahlian yang spesifik maka tidak akan bertahan lama.

Sosok pria yang rela keluar dari satuan aparat keamanan karena video joget India viral pada tahun 2011 adalah salah satu contoh.

Media (saat itu televisi dan cetak) berebut mendapat jadwal wawancara beliau, sampai akhirnya jadwal yang padat memaksa dia harus keluar dari kesatuan. Sayangnya keahlian menari dan bernyanyi tidak mampu membuat beliau bertahan di dunia hiburan papan atas.

Kondisinya akan lain, kalau beliau viral di tahun 2017, bisa jadi beliau akan tetap dikesatuannya untuk menjadi brand ambasador kesatuan. 

Harap maklum pada tahun 2011 kesatuannya belum memahami pentingnya brand ambasador di sosial media. Berbeda dengan sekarang, dimana sudah terbuka bagi para anggotanya yang aktif di sosial media

Ada lagi duo Keong Racun Sinta dan Jojo, video lipsync dan joget-joget mereka menyanyikan lagu keong racun viral dan menyebar secara masive. 

Orang-orang seakan terhipnotis ternyata ada perempuan cantik diluar sana selain artis-artis wanita yang sering muncul di iklan, televisi atau film layar lebar.

Lagi-lagi tidak bertahan lama, karena memang mereka tidak punya keahlian lain yang dibutuhkan industri hiburan saat itu. Lalu Bagaimana nasib Bonge dan Jeje?

Semoga Bonge dan Jeje baca tulisan ini, nggak perlu ngikutin saran saya tapi minimal biar punya sudut pandang lain aja.

Kalian (Bonge-Jeje) sudah sangat dikenal, ini salah satu kelebihan yang tidak dipunyai konten kreator lain. Mereka buat konten siang-malam tanpa henti agar bisa dikenal orang lain, dan belum tentu membawa hasil.

Perdalam keahlian yang kalian miliki, kalau Bonge dulunya pengamen, tidak ada salahnya coba covering lagu orang dan bikin video klip yang nyentrik dan lucu sesuai karakter Bonge.

Untuk Jeje, saya gak tau keahlian dia apa, mungkin bisa jadi aktris, karena ada video yang juga viral ketika Jeje terlihat emosi meminta diberikan jalan. Itu natural sekali.

Kalau bingung, mungkin ada baiknya kalian ikut manajemen KOL. Karena akan ada yang ngurusin mengenai konsep, lalu mikirin brandingnya mau seperti apa, sampai mencari klien. Tapi ini juga harus hati-hati, jangan jadi sapi perah manajemen. Sudah banyak cerita artis papan atas yang "dikerjain" oleh manajemen mereka.

Ohhh ya, kalau memang ingin melanjutkan sekolah dengan beasiswa mengikuti program kejar paket A, mungkin lebih baik dan akan mendapat respek dari masyarakat yang lebih luas. Bisa jadi persona baru untuk Bonge dan Jeje di sosial media.

Apapun itu, saya selalu berdoa untuk mereka. Semoga mereka bertemu orang-orang baik yang bisa menjaga dan mengarahkan mereka kearah yang lebih baik untuk bisa meningkatkan taraf hidup keluarga dan orang-orang disekitar mereka.

Tetaplah membumi, seperti saat kalian dikenal luas, jangan memaksa menjadi bintang, karena bintang jauh dari daratan tempat kita dipertemukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun