Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tulang Istriku

22 Januari 2016   17:20 Diperbarui: 23 Januari 2016   00:30 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ngelangut, aku hanya bisa menatap satu foto istriku yang masih tersisa. Selalu saja teringat tentang kabar kematiannya, beberapa tahun yang lalu itu. Aku terima berita dari dari aparat pemerintah: Istriku sudah dihukum mati.

Lunglai aku, usai membacanya. Dan aku harus menunggu jenazah itu sampai ke rumah, kemudian memakamkan.

“Tidakkah ada keadilan di negeri itu?”

Kata istriku, dirinya hanya mempertahankan diri, menghindari pemerkosaan. Lari ke dapur dan mengambil pisau. Entah bagaimana, ia berhasil menikam lelaki yang tengah membara syahwatnya. Lelaki anak majikan itu mengalami pendaharan hebat. Kemudian meregang nyawa di rumah sakit.

Tapi apalah artinya membela diri di negeri itu. Negeri yang seperti tidak punya hukum. Setidaknya, aku berkesimpulan seperti itu. Maka, hukuman mati menjadi kenyataan buruk yang harus istriku terima. Dan peristiwa itu menjadi pompa yang menekan kuat, memuncakkan kesunyianku pada waktu-waktu berikutnya.

“Sudahlah, Sam. Rasam.” Seseorang berucap di sampingku, kala itu. “Jika jalan Tuhan seperti itu untuk dia, iklaskan.”

Serentetan kalimat penghibur, nadanya sama. Atau setidaknya mirip. Benar, harus iklas. Tidak iklas pun, istriku tidak akan hidup lagi.

Tapi kini, sunyiku menguras batin. Hingga pada malam yang pekat dan hujan tengah mendera desaku, aku datangi makam istriku. Aku gali sedaya tubuhku. Cangkul berayun menghujam tanah. Hingga tulang-tulang itu berhasil aku raih. Kukumpulkan. Kumasukkan ke dalam kantung beras ukuran besar.

Sekitar pukul 02.00 dini hari, aku pulang. Memasuki rumah, meletakkan bawaan itu. Segera tubuh ini aku bersihkan dan kemudian membarui tenagaku dengan makan ubi rebus sisa sore hari. Tiga gelas air tawar mampu mererjang tenggorokan, memenuhi lambung.

Sejenak berpikir: aku bisa senekat ini. Rasa takut itu membumi, teramat dalam. Kemudian, aku tertidur di atas dipan kecil di ruang tengah. Lelahku tak terperi, hingga matahari sepenggalah naik, aku baru terbangun.

***
Istriku berkata ,”Izinkan aku mencari uang di luar negeri. Yang lain saja berani.  Aku ingin seperti mereka. Aku mohon.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun