Suamiku kuanggap aneh saat seminggu setelah pernikahan, dulu itu. Masuk kamar langsung membisikkan kalimat,”Siapkan mendoan untuk kita malam ini.”
“Mendoan?” tanyaku heran.
“Iya, mendoan. Kamu pasti bisa bikin mendoan, kan.”
Mencoba membahagiakan suami. Aku bergegas ke dapur, mengolah bumbu, mencampurkannya dengan tepung beras dan sedikit terigu. Tidak ketinggalan menambahi irisan daun bawang: untuk memberi aroma dan pernik hijau pada adonan itu. “Sreng… sreng….sreng…..” Suara kolaborasi tempe tipis nan lebar berlumur adonan berbumbu yang dicelup ke dalam minyak panas di wajan.
Malam itu akhirnya jadi malam mengesankan bagi kami, makan mendoan di atas ranjang. Dan, setelah itu, suamiku mengajak bercinta untuk kali pertama.
Aku pikir, ia minta mendoan karena ingin saja pada saat itu. Ternyata tak begitu. Ini menjadi seperti sebuah seremonial sebelum kami bercinta. “Bikin mendoan dulu,” pintanya.
Karena selalu demikian, akhirnya sebagai istri, aku hafal. Maka aku tanya sebelum masuk kamar,”Apa perlu bikin mendoan?”
Yang paling aku tidak mengerti, ia selalu menjawa: Ya, terhadap pertanyaanku tadi. Kenapa di otaknya hanya ada satu kata “mendoan” sebelum tidur, pikirku.
Tapi sekali waktu aku menjawab berbeda,”Aku nggak mau bikin.”
Ia tanya,“Kenapa?”
Aku punya alasan,” Aku lagi datang bulan.”