Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Lampu Petromak

15 Maret 2015   10:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="" align="aligncenter" width="180" caption="herrylink.blogspot.com"][/caption] Sudah satu hari saya di rumah.  Tempat  yang selalu mendamaikan hati.  Di sini saya dilahirkan. Dibesarkan untuk menjalani kehidupan.  Tidak ada yang banyak berubah.  Meja, kursi, tempat tidur nyaris tak ada yang baru.   Hanya beberapa alat elektronik yang kini ikut menjadi penghuni rumah.  Itu pun setelah aliran listrik masuk ke desa saya.

Saya mengambil jatah cuti tahun ini.  Cukup tiga hari saja.  Tidak lebih dari jumlah itu.  Saya ingin memanfaatkan penyegaran diri ini dengan pulang ke desa, ke kampung halaman.   Mengasingkan diri dari hiruk pikuknya kota Jakarta.  Mengendapkan segala rutinitas kerja yang seolah tak ada habisnya.

Berada di kamar bapak menjadikan saya merasa tertarik ke puluhan tahun silam.  Ini bilik persegi panjang.  Tempat berkumpul keluarga: Bapak, ibu dan dua adik saya sekaligus.  Kami lebih senang di sini, walau ada kamar lain yang disediakan untuk anak-anak.  Tetap saja, kalau malam kami terbiasa kumpul untuk saling bercanda.  Kami  baru beranjak keluar kamar, manakala  adik bungsu saya  menangis.

Di atas lemari pakaian,  sebuah lampu petromak berdiri kaku.  Terbungkus plastik bening yang sisi luarnya berselimut debu.   Hingga kebeningannya menjadi kusam. Entah berapa lama tak ada yang menyentuh, membersihkannya.

“Butterfly,” gumanku dalam hati.

Bapak saya menyebut merek itu dengan dengan logat Jawa sekenanya. Ejaannya: b-u-t-e-r-p-l-e. Dibaca Buterple.  Saya  waktu kecil menirukan saja.   Yang pasti, kami sekeluaga tahu, itu artinya kupu.  Karena ada gambar kupu dengan dua sayap mengembang pada tutup tanki dan ujung penekan pompa tangan petromak itu.

“Ah, barang seperti ini masih saja disimpan,”ucap  saya sendirian.

Saya ambil dari atas lemari pakaian Bapak.  Saya tenteng dengan mengenggam ujung gantungannya dan membawanya ke luar kamar.  Niatnya akan langsung saya taruh di gudang.   Di bangunan kecil samping  rumah, berdekatan dengan dapur.

“Mau dibawa kemana?”

Saya berpapasan dengan Bapak.  Tampaknya beliau baru saja mandi.  Handuk merahnya masih melingkar di leher.   Raut wajahnya tampak segar biarpun usia sudah kepala tujuh.  Giginya tetap putih, walau sudah beberapa yang tanggal.  Kesehatannya masih lebih baik daripada teman sebayanya.  Itu karena Bapak tidak merokok semenjak saya lahir empat puluh tahun silam.  Tidak juga minum kopi.  Dan, setiap pagi selalu olah raga jalan kaki bersama beberapa orang .  Rute yang dilalui berbeda  tiap paginya.  Sehingga tidak membosankan bagi mereka.

“Mau  saya taruh  di gudang belakang, Pak.   Masa barang seperti ini disimpan terus di kamar.  Cuma bikin kotor.  Bikin sumpek.  Toh sudah ndak dipakai lagi,” saya menjawab pertanyaan Bapak dengan nada lirih.

Tanpa diduga, Bapak mengenggamkan jemari tangan kanannya pada gantungan petromak yang sedang saya pegang.  Menarik dan seperti hendak merebut dari tangan saya.   Saya pun paham diri.   Ada sesuatu yang tak berkenan di hati Bapak.

Saya biarkan petromak itu berpindah tangan.  Hingga seluruh beban benda itu yang hampir dua kilogram terpusat pada tangan Bapak.

Ora iso.  Ndak bisa Le,” kata Bapak. ‘ Le’ adalah sebutan untuk anak laki-laki Jawa.

“Kamu ndak boleh sedikit pun mindah-mindah petromak ini.  Apalagi ke gudang yang kotor itu.  Opo meneh sampai kamu membuang ini.  Bisa kualat kamu!” Bapak mengangkat lampu itu hingga sejajar dengan badannya.

Bapak bicara dengan nada sedikit tinggi.  Saya memaklumi, itu cara Bapak  bicara.  Tapi sejatinya, saya tak juga mengerti kenapa Bapak kukuh menyimpan lampu jadul itu di kamarnya.

***

Keluarga kami baru bisa menikmati lampu petromak saat saya kelas empat SD.  Menggantikan dua lampu teplok besar yang selama ini menggantung di ruang tamu dan ruang tengah.  Satu Lampu petromak ternyata mampu menerangi sebagian besar bagian dalam rumah.  Bahkan, karena  sisi depan rumah ada delapan jendela berkaca tak bergorden, terangnya sampai ke halaman dan jalan raya.

Suasana baru. Kami bisa belajar lebih jelas.  Tidak lagi remang-remang dalam temaram lampu teplok.  Teman pun bisa datang untuk belajar bersama.   Tidur pun tak lagi secepat dulu, pukul delapan malam.  Kini bisa menambah ke saat jarum jam berada di angka sembilan.

Setiap pukul tiga, sebelum bermain ke luar rumah, petromak itu menanti sentuhan saya.  Dibersihkan kacanya dari kotoran.  Mengisinya dengan minyak tanah, dengan ukuran tertentu.  Bapak mengajarinya dengan memasukkan jari kelingking ke lubang tanki.  Merasakan sentuhan minyak di dalamnya.  Hangat, dengan bau yang khas.

“Kamu tarik kelingkingmu.  Lihat minyak yang menempel di ujung jari.  Kalau panjangnya dua senti, sudah cukup.  Kalau lebih dari itu, dikurangi. itu artinya isinya kebanyakan. Kalau dipompa tekanan udaranya   kurang, jadi ndak bisa nyala,” begitu Bapak mengajari saya.

Biasanya menjelang setengah enam sore, lampu petromak itu dinyalakan.  Pada awalnya Bapak yang selalu menyalakan.  Seiring waktu saya pun diajarinya.  Hanya saat menggantungnya pada kawat yang  ada di langit-langit, Bapaklah yang melakukan.  Kadang, saat tertentu saya berani naik kursi dan menyantelkannya di kawat itu.

***

Siang ini saya dan Bapak duduk di ruang keluarga.  Pisang goreng tersaji di atas meja. Hasil kebun belakang rumah.  Bersanding, segelas teh tubruk panas.  Keduanya klangenan, kesenangan kami sekeluarga.

“Seno, kamu anggap apa petromak itu. Sampai  kamu mau taruh di gudang!” Bapak yang membuka percakapan kami.

“Itu kan barang bekas, Pak.  Puluhan tahun tak terpakai,” ujar saya.

“Jadi, itu sampah menurutmu?”

Bapak mulai memperlihatkan  ketidaksukaannya terhadap sikap saya.   Sebagai anak sulung, saya terbiasa  bicara terbuka dengan Bapak, walaupun kadang beda pendapat.

“Iya, Pak.  Dikasih ke tukang rongsok saja! Selesai,” jawab saya sambil mengambil gelas teh tubruk yang  sudah mulai berkurang panasnya.

“Semprul, kowe!” sergah Bapak mendengar jawaban saya.

“Kamu bisa beli petromak semacam itu: sepuluh, seratus bahkan seribu.  Tapi tidak akan pernah menggantikan petromak buterple itu.  Berapapun gaji kamu di bank.  Sebesar apapun tabunganmu, itu pun tidak mungkin menggeser kedudukannya”

“Bahkan, kamu iming-imingi lampu kristal untuk gantikan petromak sampah itu, Bapak tidak sedetik pun  mau meliriknya,” lanjut Bapak.

Pernyataan Bapak itu seperti menampar wajah saya.   Saya terjaga dari keangkuhan diri yang menjerat pemahaman saya tentang sebuah petromak yang teronggok di kamar Bapak.   Sebuah barang bekas yang pantas di buang.  Dikilo oleh tukang loak.  Atau ditaruh di gudang menjadi tempat bermain anak-anak kecoa.

“Nuwunsewu, Pak.  Memangnya kenapa?” saya mencoba memancing penjelasan dari Bapak.

“No, Seno, dengar ya.  Membuang petromak, menaruhnya di gudang, itu artinya menyepelekan masa lalumu.  Masa lalu keluarga kita.  Terutama pengorbanan ibumu.”

Setidaknya saya sedikit menahan nafas saat Bapak menyebut ibu.  Sama sekali tidak paham ke arah mana Bapak memuarakan penjelasannya.   “Terutama pengorbanan ibumu”, pengorbanan apa yang Bapak maksud?  Apa kaitannya, antara saya, keluarga dan pengorbanan ibu?

“Dulu adikmu, si Kusno, menangis gara-gara rumah Bu Lik kamu pakai  lampu petromak.  Dia ingin rumah kita terang seperti rumah sebelah,” papar Bapak.

Seingat Bapak, waktu itu tidak ada cukup uang untuk membeli petromak.  Tapi tuntutan adik saya  tidak reda. Menangis tiap hari, telah membuat hati ibu  luluh.  Bapak dan ibu berunding, memutuskan untuk membeli lampu petromak.

Dari mana uangnya? Pengasilan Bapak sebagai tukang patri perhiasan tidak mencukupi untuk membeli.  Hanya pas untuk kebutuhan harian.  Ibu hanya membatik, itu pun belum menghasilkan uang.  Masih sebatas mengisi  waktu.

Akhirnya, jalan yang dipilih oleh ibu menjual  dua kain sarung batik simpanannya.  Ia jual ke Mbah Kasmi, orang yang biasa berjual-beli kain batik di desa saya.

“Dari situ, ibu langsung  pergi ke toko, beli petromak.  Sendirian. Pulangnya  nyangking si buterple itu,” kata Bapak

Ingat Seno, lanjutnya sambil menatap saya.  Pengorbanan ibumu itu yang membuat kamu bisa seperti sekarang.  Kerja di bank terkenal, hidup layak.  Kamu mungkin tidak memahami yang terjadi waktu itu, kamu masih kanak-kanak, masih kecil.  Belum mengerti.

Panjang lebar Bapak telah menjelaskan.  Sampailah kini saya mulai mengerti makna petromak itu.  Benda yang menerangi malam di rumah kami dulu, telah mengubah kehidupan.  Saya dan adik-adik saya menjadi anak-anak yang rajin belajar.  Gemar membaca hingga malam.  Cahaya lampu petromak telah memberi energi untuk kami, anak-anak desa, tekun menimba ilmu dari buku-buku yang kami pinjam.  Itu membuat  Bapak dan ibu bungah, senang hatinya.

Saya pun berani memilih untuk keluar desa setelah lulus SD.  Tinggal di rumah Pak Dhe.  Bersekolah di kota, di sebuah SMP favorit.  Sebuah keputusan yang mengherankan, jika diingat.  Seusia dua belas tahun berinisiatif pisah dari orang tua, hanya untuk belajar di kota.

“Bapak tidak tahu, apa jadinya jika waktu itu ibumu tidak nekad beli petromak?” Sebuah kalimat yang bernada pertanyaan.

Mungkin saya dan adik-adik,  masih kesulitan belajar.  Prestasi belajar tak sebagus yang tercapai.  Lebih dari itu, tidak juga melanjutkan ke perguruan tinggi.   Walupun karena mendapatkan beasiswa.  Begitu jawaban saya dalam hati.

Namun, akhirnya saya menemukan makna tersirat dari sebuah petromak lawas itu.  Ia menjadi simbol pengorbanan seorang ibu kepada anak-anak dan keluarga.  Sebuah cinta dengan mengorbankan benda miliknya.   Maka pantaslah Bapak mempertahankan.   Karena beliau ingin mengenang cinta dan pengorbanan  seorang istri, ibu saya.

Saya berjanji pada pagi hari di akhir cuti saya, di samping  makam ibu, akan saya buatkan lemari cantik untuk menyimpan petromak itu.  Agar nilainya tetap terkenang. Dan pengorbanan ibu menjadi inspirasi bagi saya dan adik-adik saya.  Agar kecintaan Bapak kepada ibu tetap mengalir, walau lewat tatapan pada sebuah lampu petromak.  Si Bu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun