Jika bukan karena istri keduanya meninggal dan tiga anaknya hidup enak, bisa jadi lelaki tua ini tak kembali ke istri pertamanya. Tapi entahlah, hingga orang-orang kampung heran, kenapa puluhan tahun berpisah tak jelas status, perempuan tua yang kini berjalan selambat siput itu mau menerima Saryun kembali: suami atau bekas suami itu.
Tak ada yang berubah dari Saryun. Saat pergi dari Jinem, si perempuan itu, dan kini bersatu lagi, hanya kemiskinanlah yang ia antarkan. Mungkin, karena kesendirian Jinem yang tak pernah mencoba melirik lelaki lain hingga usia senjanya, ia berlapang dada menerima Saryun. Miskin mungkin disepakati sebagai nasib, tapi jika bersatu lagi, barangkali saja mereka beranggapan kemiskinan bisa dibagi. Setidaknya mengukuhkan peribahasa: Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Belakangan ini Saryun punya kegiatan yang konon untuk menambah rezeki. Ia dengarkan suara tokek di rumahnya. Tokek itu sering bepindah tempat, hingga Saryun tak bisa memastikan seberapa besar binatang itu pada siang hari. Yang pasti, suaranya menggema tiap malam di remang sinar bola lampu yang temarang.
Entah bagaimana caranya, Saryun bisa mengubah suara tokek menjadi angka-angka. Kemudian diutak-atik posisi depan tengah dan belakang. Tiga angka itulah yang dijadikan acuan untuk membeli nomor buntut togel.
Tiap kali ia duduk menyendiri, dan Jinem mendekati, Saryun bersuara agak keras,”Kenapa mendekatiku. Aku tengah menunggu rezeki!”
Jinem tentu tak mengerti. Dan ia tak mau bertengkar. Tapi lambat laun ia tahu bahwa kini tengah marak judi togel. Ketika orang-orang kampung bercerita bahwa si Saryun pernah memasang nomor buntut togel dan “tembus”, Jinem terperanjat: Busyeeeet.....!
Akhirnya ia mendatangi lelaki kurus peyot berkepala plontos. “Saryun, kenapa kamu tak pernah bilang dapat uang banyak!” ucap Jinem pada suaminya.
“Uang apa?”
“Buntut togel. Jangan mengelak, Saryun!”
Sejoli tua itu saling memancarkan kekakuan wajahnya. “Kamu buta ya. Lihat kulitku, Saryun! Kulitku gatal-gatal sekujur tubuh. Dulu kamu bilang mau antar aku berobat jika punya uang. Pas ada uang kamu tak peduli. Kamu sudah lupa?!”
Saryun seperti terdakwa. Ia terdiam. Cekungan-cekukangan di kepala, yang mengartikan ketiadaan daging yang menyelimuti wajah dan tengkorak makin menaspakannya. “Itu akan aku gunakan beli togel lagi. Nanti bila sudah mencukupi, kamu aku bawa ke dokter! Dokter kulit, Jinem!”