Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Podjok Pawon

21 September 2015   22:04 Diperbarui: 21 September 2015   22:04 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu per satu, mereka mengirim “telik sandi” untuk mengetahui rahasia dibalik ramainya para pembeli. Menyusup dalam antrian sambil tengok kanan, tengok kiri. Tanya sana, tanya sini.

Pak Satimin salah satu yang sangat penasaran. Keberadaan usahanya yang bertahun-tahun dirintis, mulai goyah. Pemilik warung gudeg tetangga kampung itu pernah mencoba mengamati tekstur dan rasa gudeg warung milik Jakuro.
“Biasa saja, sama dengan kita” Pak Satimin berujar. Istri dan juga para pekerjanya pun mengakui hal yang sama.

Lain halnya dengan Mbok Tarjiman. Janda tua dua anak ini malah berangkat sendiri ke warung Jakuro. Berdesakan, mengantri. Asal tahu saja, sehari-hari dia tak berkerudung. Sekarang, untuk kegiatan rahasianya ia sengaja memakainya. Sekedar menyamar. Bibirnya diolesi lipstik, jadi terlihat “manglingi”. Jarit yang biasa dikenakan diganti celana panjang. Pokoknya, tidak ada yang tahu, ia mbok Tarjiman.

Sampai pulang ke rumah, mbok Tarjiman masih belum memperoleh kesimpulan yang berarti. Sebagai pemilik warung gudeg berpuluh-puluh tahun, dia paham banget tentang bumbu dan cara mengolah buah nangka muda dan manggar kelapa menjadi makanan yang khas. Gudeg yang sudah dibeli dari warung Jakuro dicipi. Lidahnya mengecap-ecap beberapa kali. Ia menggelengkan kepala. Orang-orang yang ada dirumahnya disuruh membandingkan dengan gudeg bikinannya.
“Enak punya kita kan?”
Semua mengangguk. Sepakat. Gudeg Jakuro tidak bisa disebut istimewa. Tapi tetap menyimpan misteri bagi mereka yang memiliki jenis usaha yang sama.

Tapi ada juga yang sumeleh. Iklas menerima hal tersebut. “Wong itu rejekinya Jakuro, kenapa kita mesti repot-repot ngintip-ngintip warung orang.” Demikian prinsip Mbok Djuminah, pengusaha warung gudeg yang sudah punya cabang di tiga tempat.

Letak warung Jakuro bukan di pinggir jalan besar. Malahan lebih pantas disebut pelosok. Bentuk warungnya sederhana. Sebagian besar terbuat dari kayu dan bambu. Tetapi yang mengherankan, pembeli tak pernah sepi.

Mungkin, bagi yang belum pernah ke sana dan berniat mencoba, harus tanya dulu, berapa lama mengantrinya?
Oh. Mendengar itu saja orang langsung lunglai. Untuk beli dan makan sekelas gudeg, mereka rela menunggu sampai hampir satu jam. Apa jadinya kalau sudah menunggu, tapi habis!

***

Sejarahnya memang agak panjang. Jakuro merasakan kehidupan yang kekurangan. Pekerjaan sebagai kuli pasar tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga. Usianya waktu itu masih dua puluh empat tahun. Beda empat tahun lebih tua ketimbang istrinya.

Sampai dua tahun usia pernikahannya mereka belum dikaruniai anak. Keadaan ekonominya masih kempis-kempis. Jakuro waktu itu sudah merasa tidak enak tinggal bersama mertua, maka ia membuat gubuk semampunya di sebuah pekarangan milik orang tuanya.
“Kang, bagaimana kalau kita jualan saja. Buka warung” istrinya menyampaikan pendapatnya
“Warung? Warung apa?”
“Ya, warung makanan. Aku kan bisa bikin gudeg. Makanya, aku inginnya punya usaha warung gudeg. Kita coba saja”

Tidak serta merta Jakuro mengiyakan keinginan sang istri. Beberapa hari ia mengendapkan hal tersebut. Sampai pada suatu saat ia sampaikan kepada istrinya.
“Ya, wis. Aku setuju sama niatmu. Nanti aku juga ikut bantu-bantu kamu”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun