Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pesona "Layar Tancap"

7 April 2015   05:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="267" caption="kaskus.co.id"][/caption]

Bisa jadi remaja dan anak sekarang sedikit yang mengenal layar tancap.   Atau malah terdengar asing jika ada orang yang menyebut istilah itu.  Generasi sekarang sudah memiliki dunia sendiri, apalagi memasuki era digital.  Aneka media hiburan dengan mudah dapat mereka peroleh.

Layar lancap merupakan perangkat  untuk media penerima gambar dari proyektor film.  Di bioskop berupa tembok putih, sedangkan layar tancap berbahan kain tebal berbentuk persegi panjang.  Bisa ukuran 3 x 5 meter atau lebih, semua tergantung kebutuhan.

Saya pernah melihat layar tancap yang kecil, mungkin ukuran 1,5 x 2 meter yang dipasang di atas mobil Penerangan Masyarakat (Penmas) milik pemerintah.  Itu merupakan kegiatan komunikasi pembangunan yang digencarkan oleh  Orde Baru.  Isinya berkenaan dengan sosialisasi program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), transmigrasi ataupun pertanian.  Model komunikasi massa semacam itu terjadi pada awal tahun tujuh puluhan hingga delapan puluhan.  Sesudahnya, saya tidak lagi menjumpai.

Cara yang lebih menunjuk ke istilah “Layar Tancap” yaitu membentangkan layar dengan mengikat sisi kiri dan kanan pada tiang besi penyangga.  Tiang besi diberi ikatan tali pada ujung atas dan tengah dengan jumlah tali sesuai kebutuhan. Kemudian menarik tali itu secara kencang, dan mengikatnya pada patok besi yang sudah ditancap kuat ke dalam tanah.  Hingga akhirnya layar terbentang kokoh, menghadang hembusan angin.

[caption id="" align="aligncenter" width="276" caption="radarsukabumi.com"][/caption]

Jika dulu orang berkata,”ayo, nonton layar tancap.”  Berarti sebuah ajakan untuk menyaksikan sebuah hiburan berupa film di arena terbuka pada malam hari.  Jika yang mengajak bersemangat, setidaknya bisa dipastikan tontonan itu gratis!

Pada era 70-80, hiburan model layar tancap merupakan cara promosi yang murah meriah, yang mampu menyedot banyak pengunjung.  Perusahaan yang memanfaatkan cara ini antara lain perusahaan Jamu Jago, Jamu Air Mancur, Perusahaan rokok, sampai dengan produsen batu baterai.

Lapangan sepak bola menjadi pilihan bagi terselenggaranya pertunjukkan film tersebut,  agar bisa menampung jumlah penontonnya yang banyak.  Biasanya pihak keamanan dan kantor kecamatan hanya mau member izin pertunjukkan di lapangan yang dekat dengan pihak keamanan.  Ini sebagai antisipasi, agar jika terjadi kerusuhan ataupun kejahatan, mereka mudah mengatasinya.

Sore sebelum pertunjukan, satu mobil promosi  berkeliling dari satu desa ke desa sedaya jangkau roda empat.  Dengan menggunakan pengeras suara, orang yang di dalam mobil mewartakan sepanjang jalan,”Saksikanlah, banjirilah pemutaran film…….. di lapangan …….. nanti malam!”

Namanya saja hidup di pedesaan yang tidak ada bioskop, haus hiburan dan senang berduyun-duyun, maka yang seperti ini begitu ditunggu-tunggu.  Para pedagang di sore harinya langsung menyiapkan tempat.  Anak-anak merengek ke orang tuanya minta uang jajan untuk jatah  nanti malam.

Selepas maghrib, lapangan mulai kedatangan pengunjung.  Bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh tetap rela jalan kaki lewat pematang sawah, tepi sungai dan aneka cara, yang penting sampai di lokasi pertunjukan.  Tak pelak, inilah waktunya penghuni antar desa saling bertemu dalam satu momen, nonton bareng!

Armada mobil perusahaan yang didatangkan biasanya lebih dari empat buah.  Datang untuk memberi hiburan sambil  jualan, atau berjualan sambil menghibur.  Pedagang memang begitu!  Daya pikat yang diberikan berupa undian berhadiah bagi para pembeli.  Untuk Jamu Jago, ada sesi hiburan tersendiri berupa orang-orang bertubuh pendek, yang dengan mengenakan “topeng Pak Jenggot” berjoget di atas mobil mengikuti irama lagu dangdut.

Penonton kerap berteriak meminta filmnya segera diputar.  Tak sedikit anak-anak yang melempar sandalnya ke arah layar.  Protes!  Sudah malam belum juga dimulai.  Orang-orang tua punya cara lain, mereka memainkan lampu senternya di bentangan layar putih, hingga sinarnya beradu satu sama lain. Uh, mantap.

Pernah suatu kali saya dikejutkan dengan adegan yang tak “pantas” alias seronok yang terpaksa ditonton khalayak segala umur.   Seingat saya judul film itu “Pendekar Harun”. Tidak perlu saya ceritakan adegan itu (!), yang jelas seluruh penonton kaget dan berteriak.  Ini film yang sudah lolos sensor, atau malah tidak disensor! Entah dengan cara apa, operator  kemudian dengan cepat menutup citra yang keluar dari mesin pemutar pita film tersebut.

Satu lagi tontonan layar tancap yang menghebohkan, tragis sekaligus mengharukan yaitu bertepatan dengan munculnya gambar rumah terbakar, bersamaan dengan itu terlihat pula  di kejauhan percikan bunga api terlontar ke atas.  Kami, para penonton kebingungan dengan kejadian yang serupa secara bersamaan.  Satu sisi sebuah rumah terbakar dalam tayangan layar tancap, satu lagi lagi rumah terbakar dalam situasi nyata.

Penonton porak poranda bergegas hengkang dari lokasi layar tancap.  Sementara api sudah makin membesar membakar rumah.  Proyektor film pun akhirnya dimatikan.   Dan, dalam keadaan gelap, semua yang ada dilapangan mencari jalan pulang.

Ternyata rumah yang terbakar itu rumah milik keluarga teman SD saya.  Hanya satu orang yang berada di dalam rumah itu, seorang kakek berusia delapan puluhan tahun. Ia yang ditinggal sendirian oleh anak dan cucunya pergi  ke lapangan bola, untuk sebuah tontoan gratis: LAYAR TANCAP.

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 07 April 2015

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun