Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membuat Presiden Tersenyum

31 Januari 2015   19:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di masa Presiden Soekarno, pernah ada seorang pria yang datang dari Sumatra ingin bertemu Beliau di Istana Merdeka.   Pihak istana menyampaikan hal itu ke Bung Karno, dan ia memperkenankan.  Akhirnya keduanya bertemu.

“Ada hal apa hingga kamu datang dari jauh ingin ketemu saya?” tanya Presiden

“Begini Pak.  Saya ingin memberikan seekor burung kepada Bapak”

“Baik.  Akan saya terima burung itu.  Tapi ada syaratnya” lanjut Beliau

“Apa gerangan syarat itu?” si pria itu balik bertanya

“Syaratnya, kalau burung itu sudah diberikan ke saya.  Saya boleh melakukan apapun terhadapnya”

“Oh, ya silakan.  Itu kan sudah menjadi milik Bapak”jawab si pria itu.

Burung pun diberikan kepada sang Presiden.   Selanjutnya, dengan membawa burung dalam sangkar, Bung Karno mengajak pria itu ke halaman belakang istana Merdeka.  Kemudian, Bung Karno mengambil burung, mengeluarkan dari dalam sangkar lantas melepaskannya terbang bebas.  Tamu itu kaget tak mengerti.

“Kenapa Bapak lepaskan burung itu?”

“Lho kan tadi sudah sepakat.  Kalau sudah diberikan ke saya, terserah mau diapakan,” jawab BK.

Tamu itu hanya mengangguk-angguk.  Presiden Soekarno bisa tersenyum, karena telah membebaskan seekor burung dari sangkar yang memenjarakannya.

Masih teringat dalam memori saya saat jelang pengunduran diri Pak Harto sebagai presiden.  Pada tanggal 19 Mei 1998, Beliau kedatangan  sembilan orang tokoh untuk diminta pendapat mengenai situasi politik pada waktu itu yang sangat memanas.  Mereka antara lain KH Ali Yafie, Gus Dur, Nurkholis Majid (Cak Nur), Prof. Malik Fadjar dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan lainnya.

Dalam situasi politik nasional yang begitu tegang, dengan unjuk rasa yang marak dan masif di berbagai tempat, ternyata pembicaran Pak Harto dan kesembilan orang itu berlangsung sangat santai.  Menurut Cak Nun, yang terlihat tegang di ruangan justru Jenderal Wiranto (Panglima ABRI) dan Letjen. Prabowo Subianto (Pangkostrad).

Keluar dari pertemuan itu, presiden langsung mengadakan konferensi pers di sebuah ruang istana.  Tidak ada kesan yang menunjukkan bahwa Pak Harto tertekan.  Beliau memaparkan isi pertemuannya tetap dengan pakem “smile general”, jenderal yang murah senyum.

Bahkan beliau membuat “mercon politik” dengan mengatakan,”Tidak jadi presiden, ora patheken”. Tidak jadi presiden, tidak membuat pantatnya bisulen. Lontaran pernyataan itu menyitir perkataan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) kepada beliau di dalam pertemuan tadi.

Mendengar gurauan itu, semua yang berada dalam ruangan konferensi pres tersenyum.  Prof. Malik Fadjar terlihat dalam televisi menyikut Cak Nun.  Sepertinya mereka tidak mengira Pak Harto akan mengungkapkan itu dalam situasi politik yang mengkuatirkan di luar istana.

Tampaknya tokoh-tokoh yang berkunjung ke Pak Harto merasa senang, karena bisa menghibur Kepala Negaranya yang tengah dirundung “pilu”.   Membuat beliau bisa tersenyum di hadapan rakyatnya.  Tidak ada beban, hingga pernyataan pengunduran dirinya ia bacakan, Pak Harto tetap tersenyum.

Pada masa kepemimpinan Gus Dur, situasi politik memanas dikarenakan Presiden sering terlibat konflik dengan DPR.  Pertentangan politik di tingkat lembaga negara membuat Gus Dur  seorang yang humoris kerap kali menjadi terlihat jarang tersenyum.   Keadaan itu lantas menggerakkan beberapa koleganya mendatangi Beliau di kediaman resminya.   Mereka dimotori oleh Romo Magnis Soeseno dan Prof. Johan Effendi.   Tujuannya cuma satu,   mengingatkan Gus Dur agar kembali ke sejatiannya sebagai pribadi yang penuh humor.

Kini nampaknya situasi ini terualang lagi.  Bertolak dari pengajuan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, yang kemudian dipersangkaan oleh KPK, telah memicu memanasnya suhu politik nasional.  Posisi Presiden Jokowi dalam kegamangan, yang akhirnya membuat keputusan untuk menunda pengangkatan Komjen BG sebagai Kapolri.

Terlihat jelas pada saat konferensi pres, Jokowi tampak tegang dan teramat hati-hati dalam membaca teks pidati singkatnya.  Publik mudah membaca bahwa Jokowi dalam tekanan politik.  Maka tidak mengherankan, pria Solo yang biasa gampang tersenyum ini, menjadi “tampak” layu.

Untunglah  situasi ini cepat berubah, setelah kedatangan Prof. Jimly Assidique, dkk dalam kaitan pembentukan Tim Independen, Jokowi sudah mulai menata kembali gesturnya.  Ia memberikan keterangan pers dengan rilek.  Ketegangan sudah mulai memudar.

Pulihnya Jokowi ke “selera asalnya” begitu tampak saat mendapat kunjungan Prabowo Subianto.  Sejak keluar dari pintu ruang Istana Bogor, mengadapi pertanyaan wartawan dan mengantar Prabowo menuju mobilnya, ia sudah mampu tersenyum dengan tulus.

Pertemuan itu, setidaknya telah meremukkan persepsi publik bahwa rivalitas sewaktu pilpres masih terjadi.   Kedua tokoh politik itu bisa jadi mencairan perseteruan “latent”  di antara para pendukungnya yang masih ada, dan menujukkan bahwa keduanya tidak ada dendam politik.  Prabowo datang  sebagai “kawan”, karenanya Jokowi senang dan bisa mengumbar senyuman.  Prabowo kali ini justru  menjadi “energi politik” bagi kepemimpinan pemerintahan Jokowi.  Mungkin secara politis keduanya mengatakan,Now, you are the best friend”.

Malam hari, setelah dari Istana Bogor, Jokowi bertemu dengan mantan Presiden BJ Habibie.   Habibie menyebutnya sebagai kunjungan seorang “Eyang” atau “Pak Dhe”.  Joke Pak Habibie di depan para wartawan membuat Jokowi tersenyum agak geli.

Melihat Jokowi menempatkan telapak tangannya menempel di perut, mengesankan sebuah penghormatan kepada tokoh nasional sekelas Pak Habibie.   Tampaknya sepanjang Pak Habibie berbicara, Jokowi tengah belajar kepadanya, menyimak setiap kalimat yang terucap.   Jokowi tengah “nyantri politik”.  Menjadi santri dalam kepemimpinan nasional kepada seorang “guru politik”.

Senyum Jokowi setidaknya menyiratkan bahwa dia sudah mulai pulih dari deraan politik yang menimpanya.   Kedatangan orang-orang yang tepat di saat yang tepat, telah membantu untuk kembali memulihkan gesturnya.

Kita tunggu keputusan yang akan diambilnya.  Semoga bisa membuat bangsa ini tersenyum!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun