Berkendaraan jarak jauh sekelas lebaran dengan mobil pribadi ada saatnya menguntungkan. Bisa berangkat kapan sesuai keinginan dan berhenti di manapun seperlu keinginan. Tapi tidak demikian halnya dengan penumpang bus umum Antar Kota Antar Provinsi.
Berangkat dan berhenti istirahat sangat tergantung pengelola armada. Maka untuk urusan hajat "pipis" dan lainnya, mau tidak mau harus menyesuaikan diri. Kecuali, untuk bus kelas eksekutif yang memiliki toilet tersendiri, itu menyenangkan. Tidak repot menanti dengan ketar-ketir karena takut "ngompol", ataupun pantatnya digoyang ke kiri dan kanan sekedar menjaga terjadinya "peristiwa menakutkan" yang bisa menjadi bom bagi seisi bus.
Kalaulah sudah sampai di tempat rehat, yang biasanya rumah makan besar, kadangkala ada keenganan untuk memasuki toilet. Bukan saja antriannya yang panjang dan berdesakan. Toilet pun terlihat jorok dan bau, akibat animo yang besar dan petugas kuwalahan untuk membersihkan (ini asumsi saya lho).
Lho, ternyata bukan itu saja alasannya. Membayar 2000 perak untuk sebuah "rasa terpendam" selama berjam-jam, bagi sebagian penumpang laki-laki terasa mahal. Ada saja siasat untuk gratisan. Yang ini sering membuat hati sang penjaga kotak uang "nggrundel", ngedumel dan entah apa istilahnya.
"Mas, toiletnya dulu Mas, dua ribu saja," kata seorang perempuan penjaga yang melihat lelaki menyelonong keluar area toillet.
"Lho, saya tadi nggak ke toilet, nggak kencing. Saya ke Musholla, sholat. Masa sholat di sini mbayar!," begitu jawaban lelaki itu.
Begitulah repotnya, menempatkan sebuah tempat ibadah seperti mushola dalam komplek toilet. Sering sekali kita menjumpai, tempat ibadah yang semestinya suci, justru tidak diberi tempat yang istimewa. Tetapi disandingkan dengan urusan pipis dan be'ol. Mungkin maksudnya biar sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tapi kesannya gimana ya............!
Ada juga yang sudah tahu harus membayar 2000 perak, tapi nekadi kasih 1000 perak saja. "Kok seribu Mas?"Â
Tanpa malu, pria yang ditanya menjawab,"Separo pipisnya Neng. Segini." Ia berkata sambil menunjuk botol air kemasan yang tinggal isi setengah.
Memang untuk urusan buang air kecil gratisan, para lelaki memang jagonya. Kapan saja dan di mana saja bisa. Tidak mau kalah dengan jargon Coca Cola.
Pada malam hari, di sela-sela jarak parkir antar bus AKDP, mereka beraksi. Walaupun sudah ada tulisan "DILARANG KENCING DI AREA PARKIR" dan lampu penerangan yang menyala, tetap saja para pejantan nakal itu berkumpul mengadakan "pesta kecil" sesaat.