[caption caption="pinterest.com"][/caption]Minggu ketiga: Terinspirasi Lagu
Gerbong terisi tak sampai seperempat. Aku senang. Hujan di luar sana menerpa tajam badan kereta. Temaram lampu mendesak mata penumpang terpejam. Kekasihku bersanding dengan kepala menempel pundakku.
Kereta memburu angin. Penumpang makin terbuai, seperti menyerahkan hidup dan matinya pada masinis.
Selimut biru telah menutupi kami. Tiba-tiba ia terbangun dan menatapku. Aku mengedipkan mata. Ia tersenyum. Sebuah ciuman lembut mendarat di pipi kiri. “Sudah sepi,” bisikku.
Kami melampiaskan hasrat malam itu. Dalam kereta biru malam yang angkuh kencang berlari, seakan enggan memotret gambaran romantis kami. Kami akhirnya teronggok lemas di atas kursi yang mencatat potongan adegan cinta itu.
“Akankah kau segera melamarku?” tanya kekasihku.
“Pernahkah aku ingkar janji?” Aku menjawab seakan balik bertanya. Dan ia terdiam.
Setelah itu pikiranku tak menentu.
Hari-hari kemudian, kekasihku selalu memburu pertanyaan: “Orang tuaku ingin ketemu kamu. Mereka perlu bicara!”
Aku menganggap sampah saja permintaan kekasihku. Lantas, menonaktifkan nomor HP yang biasa aku pakai dengannya.
“Ada yang ingin bicara denganmu,” seru teman sekantorku sambil menyerahkan gagang telepon.