Akad nikah dan resepsi pernikahan, 23 Juli 1984.
INILAH kali pertama keluarga saya mengadakan hajatan. Menikahkan anak sulung, anak perempuan satu-satunya orang tua saya. Segala persiapan kami lakukan tiga bulan sebelum harinya sampai. Bapak sudah mendatangi Pak Dhe Atmo untuk menghitung hari baiknya. Entah bagaimana cara mengitungnya. Yang jelas Bapak sudah mencatat “weton”, hari lahir kedua calon pengantin. Maklum, kami keluarga Jawa, masih memegang teguh tata laku sebagai orang Jawa. Semua demi keselamatan nanti bagi Mbak Tika dan Mas Kusno, sang calon suami.
Kini, waktu yang telah ditentukan itu telah tiba. Kami melebarkan tempat di depan dan samping kanan rumah dengan menyewa traktag, tempat berteduh para tamu. Janur kuning terpasang setengah melingkar di pintu masuk. Para sinoman, anak-anak muda, tengah mengusung berbagai perabot. Beberapa orang tengah membuat dapur di tanah kosong belakang rumah untuk masak keperluan selama hajatan. Hari yang sangat sibuk .
Rumah keluarga saya dan Rumah Mas Kusno masih satu desa. Walaupun berjarak tidak lebih satu kilo meter, Mas kusno sudah diantar perwakilan keluarganya ke rumah calon mertua. Rombongan tiba sebelum pukul enam sore. Dan itu sesuai dengan nasihat Pak Dhe Atmo. Saatnya, Sang pengantin masuk tahapan pingitan. Tidak boleh keluar jauh dari rumah.
Hari itu Rabu Pahing. Hari baik menurut perhitungan Pak Dhe Atmo untuk pernikahan Mbak Tika dan Mas Kusno. Meja dan kursi sudah tertata sepenuh kebutuhan acara akad nikah. Pengeras suara tampak tengah dicoba oleh operator. Satu per satu bangku yang berjajar rapi mulai terisi. Sebagian besar dari keluarga mempelai. Sisanya, tetangga yang diminta untuk hadir. “Menunggu setengah jam lagi”, begitu Pak Lik saya memberitahu beberapa tamu. Rencana akad nikah akan dimulai pukul sepuluh pagi.
“No, Kusno. Siap-siap ya!” Bapak mengetuk pintu kamar yang disediakan untuknya. Tak ada suara menjawab. Bapak yang sudah rapi dengan baju Jawa beskap hitam, bawahan kain batik dan blangkon di kepalanya, melangkah saja ke ruang depan. Penghulu, dengan baju safari hijau tua dan kopiah hitam tampak bercakap-cakap dengan petugas pencatat nikah. Dua orang calon saksi pernikahan sudah siap. Di ruang depan itulah mereka berkumpul. Tempat akan dilakukan akad nikah.
Juru rias pengantin memberi tahu ke Pak Lik saya, calon pengantin putri sudah selesai didandani. Dibuat cantik seperti bidadari dalam sehari. “Sampun Pak, kantun nenggo dipun timbali”. Sudah selesai, menunggu dipanggil.
Itu berarti acara segera dimulai. Pak Lik selaku ketua panitia seketika itu mencari Mas Kusno. Ia tanya ke beberapa orang yang ada di ruang tengah. “Di kamar Pak Lik!” jawab sepupu saya. Kamar diketuk. Tak ada suara balasan atas panggilan Pak Lik saya. Pintu pun di dorong pelan-pelan, sambil menjulurkan kepala melihat ke dalam. Kosong! “Jok, cari Kusno, akad nikah mau dimulai,” suruhnya. Walaupun saya yang disuruh, mereka yang mendengar di tempat itu pun turut mencari. Kamar mandi, dapur dan samping rumah, semua dituju. Semua bilang,”Mboten wonten!”. Tidak ada. Mulailah di antara kami di rumah saling berpandangan. “Iya, tadi pagi sarapan, terus nggak tahu. Ndak kelihatan lagi,” seorang perempuan bersuara dari arah dapur.
Belum diketemukannya Mas Kusno membuat suasana mulai kalut. Ruang depan yang sedari tadi banyak gelak tawa, mendadak senyap. Bapak tampak sangat gelisah. Sedang yang lain berusaha tenang dengan menyalakan rokok. Sesekali ada yang bertanya,”Bagaimana?” Tetap, belum juga ada yang tahu keberadaan Mas Kusno. Sementara jarum jam sudah tiga puluh menit melewati angka sepuluh.
Tak ada yang tenang di seputar rumah hajatan. Raut di wajah terlihat penuh ketegangan. Semua merasakan keheranan, calon pengantin bisa hilang. Seketika orang yang disuruh mencari Mas Kusno datang. “Ndak ada. Ndak ada di rumah!” Berarti di rumah orang tuanya pun, Mas kusno tidak ada. Beberapa tamu bangkit mendekati orang tersebut. Terlihat jelas kepanikan mewarnai suasana keingintahuan mereka.
* * *
Pak Prio, bapak Mas Kusno tak bisa bicara banyak. Sesekali duduk, kemudian berdiri dan duduk lagi. Dari kejauhan, tampak seorang pria berperawakan kurus datang setengah berlari menuju ke arahnya. “Nuwunsewu Pak Prio!”
Ternyata, berita ketidakadaan Mas Kusno jelang akad nikah sudah menyebar keluar. Mereka saling bertanya, barangkali ada yang melihat. “Ada apa Ko?”
Sejenak pria ini menenangkan nafasnya. Dia Koko, tetangga Mas Kusno, teman semasa kecil.
“Kusno ikut truk. Tadi pagi ada yang lihat. Yang nyupiri Badrun!”
“Truk?”
“Inggih Pak, truk pengangkut pasir,” lanjut Koko.
“Astaga! Edan, Cah Edan, Bajinguk!”
Kontan mereka yang ada disekitar tempat itu terheran-heran. Kenapa ikut truk?
Truk itu pengangkut pasir yang biasa mangkal di tepi Sungai Serayu Banyumas. Butuh perjalanan sekitar dua puluh kilometer dari rumah saya.
“Ko, kamu hafal truknya?”
“Inggih, hafal Pak, tempat mangkalnya juga tahu!”
“Ya sudah, kamu yang cari dia. Pinjam motor Bapakmu saja. Jangan sendirian, bawa teman!”
Ada secercah titik terang, tapi belum mencairkan ketegangan yang menyelimuti rumah saya. Bapak dua kali pingsan dan harus istirahat di kamar. Ketahanan mentalnya menurun. Ibu dan Mbak Tika hanya menangis lirih. Sapuan bedak juru rias sebagian hilang menjadi alur air mata. Beberapa perempuan di kamar pengantin mencoba menenangkan. Sambil tangannya menggerakan kipas kain ke arah tubuh Mbak Tika dan Ibu.
* * *
Waktu awal dhuhur sudah lewat, dan pukul dua siang makin mendekat. Tidak ada pembicaraan yang lebih penting selain keberadaan Mas Kusno. Namun keadaan itu kemudian terpecahkan dengan menepinya sebuah motor. Seseorang yang memboceng paling belakang turun, diikuti Mas Kusno. Riuh seketika suasana halaman rumah. “Kemana saja No?” “Mau nikah malah minggat!”
Dia tidak mengacuhkan dan langsung saja masuk rumah.
Mas Kusno menemui bapak di dalam kamar dan minta maaf. Tak ada yang Bapak tanyakan kepadanya. “Sudahlah, sekarang kamu mandi. Berdandan, terus akad nikah!” Terlihat ada kelegaan di hati beliau. Suasana rumah hajatan mulai berubah ceria. Canda dan tawa mulai menghiasi setiap sudut rumah. Ruang depan tempat akad nikah sudah dipenuhi oleh mereka yang dari pagi sudah menduduki. Deretan kursi di depan dan samping rumah, sudah tidak menganggur. Dan proses akad nikah akhirnya dapat dimulai pukul setengah tiga siang. Serentetan sambutan singkat telah selesai. “Bagaimana Saksi. Sah? Tanya Penghulu.
“Sah!” serentak kedua orang saksi memberi kesaksiannya. “Alhamdulillahi robil’alamin.” Penghulu melanjutkan dengan doa dan diamini hadirin. Setengah jam berikutnya, resepsi pernikahan Mbak Tika dan Mas Kusno akhirnya terwujud. Dua sejoli ini bersanding sebagai suami istri.
Sesekali, saat diminta mengenang itu, Mas Kusno hanya ingat, ia keluar rumah untuk beli rokok. Dalam pandangannya, seseorang di dalam bak truk memanggil-manggil, mengajak mancing. Tidak jelas siapa orang itu. Selama perjalanan di atas truk hingga di tepian kali, tak sedikit pun ia ingat hari itu hari mengakhiri masa lajangnya. Di atas batu besar pinggir kali ia sendirian, hanya melempar-lempar batu pipih ke permukaan air. Menjadikan batu kecil itu melompat-lompat dan tenggelam di kejauhan. Sampai akhirnya datang Koko dan temannya menghampiri. “Masya Allah, kenapa saya di sini?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H