1 April 1982
Matahari seperti tengah mengejan. Berusaha menampakkan sedikit demi sedikit bulatan putih kekuningan yang menyilaukan pada awal pagi itu. Pagi yang bagi anak seusia saya adalah terlalu pagi untuk beranjak dari tempat tidur. Walau hawa dingin sudah mulai enggan menggoda dibanding dengan beberapa jam yang lalu, tetapi rasa malas kerap menjadi jangkar untuk tetap berada di dalam kamar.
Tetapi, saya yang sudah bangun melihat, Eyang Kakung sudah rapi dan siap berangkat.
Jika melihat Eyang Kakung seperti pagi itu; berkopiah hitam, berkemeja batik sambil mengapit tas hitam, yang beliau gantungkan talinya pada bahu kiri, saya merasa senang. Begitu juga cucu-cucu yang lain.
Berarti, beliau hendak mengambil uang pensiunan. Sedang kami terbiasa menunggu oleh-oleh dari kota.
Siang, waktu yang dinanti itu tiba, Eyang putri menunggu. Tetapi, seorang lelaki paruh baya yang sangat dikenalnya datang mengetuk pintu. Ia pun dipersilahkan masuk.
Ia sedikit canggung bicara.
“Nuwunsewu mBakyu, Mas Guru pulangnya terlambat”
“Lo, kenapa ?”
Lelaki itu agak kesulitan untuk berterus terang. Tapi akhirnya bicara yang terjadi.
“Tadi terjatuh. Berantem!”
Kata berantem bukanlah kata yang tepat sebenarnya. Itu menjadikan Eyang putri mendadak lemas. Pikiran buruknya mengumbar menyelimuti tubuhnya.