"Ini sekolah kami dulu. Kini sudah rata dengan tanah. Hanya kenangan yang masih kukuh dalam ingatan kami"
02 Oktober 1982
Kami yang masih anak-anak itu hanya bisa menjerit histeris dan menangis. Berpegangan satu dengan yang lain. Menempatkan diri berdesakan di kolong meja guru. Bersama merasakan ketakutan yang luar biasa. Dua puluh enam anak berkumpul di ruang Guru. Kami sedang berlindung sebisa mungkin. Semua kertas dan buku di meja guru berhamburan. Kalender di dinding bergoyang ke kanan ke kiri tak beraturan dengan lembarannya yang tersingkap akibat hempasan angin. Kemudian terlepas dari paku yang menggantungnya, melayang dan menabrak dinding. Ruangan tampak mulai basah oleh tampias air hujan. Air itu masuk lewat ventilasi udara yang hanya di halangi anyaman kawat.
Kami menatap sekilas lewat jendela kaca yang bergetar-getar. Pohon depan sekolah roboh. Seng atap beterbangan hingga ke lapangan sepak bola yang ada di depan sekolah kami. Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti kami begitu panik.
Sore itu pukul 04.00. Kami mendatangi sekolah untuk mengikuti tambahan materi pelajaran. Pertengahan Oktober kami sudah harus siap penghadapi test catur wulan pertama. Kami siswa kelas enam sebuah sekolah dasar. Sekolah kami seperti bangunan kesepian. Jauh dari pemukiman penduduk. Samping kanan dan belakang hamparan sawah yang luas. Sebelah kiri ada jalan raya yang bersebelahan dengan sungai besar yang berdempetan dengan sawah juga. Di depan, sebuah lapangan bola terhampar. Menjadikan pandangan kami saat di sekolah terasa luas.
Pak Guru Sarjono adalah guru kelas kami. Pria lajang asal Sragen itu sudah tiga tahun menjadi wali kelas bagi kelas enam. Menyenangkan dan senang membantu anak didiknya. Jika malam, ia sering berkeliling ke tempat belajar kami. Karena kami belajar dengan cara berkelompok.
Di jam sore itu cuaca memang mendung. Rintikan hujan mulai datang menyemai buturan air ke sekujur desa kami. Suasana kelas tenang. Kami sudah memulai kegiatan belajar tambahan. Hanya kemudian, kami dikejutkan oleh hujan yang begitu lebat. Perhatian kami terhadap pelajaran pudar. Suara hujan yang menimpa atap seng sekolah kami memecah kemampuan pendengaran kami. Gelap mulai terasa. Dan tidak ada yang bisa dinyalakan untuk menerangi ruang kelas. Desa kami belum dimasuki jaringan listrik. Tapi nampaknya Pak Guru Sarjono masih berusaha sebisanya mengajar dalam kondisi seperti itu.
Sejenak kami didatangi hembusan angin. Pintu kelas yang tertutup bisa terbuka sendiri. Pak Guru beranjak dari depan papan tulis menutup pintu. Kami menengok satu dengan yang lain. Melirik ke halaman sekolah.
Serentak kami berdiri. Angin yang begitu besar membuat kami takut. Pohon-pohon di kejauhan bergerak miring menukik seakan mau roboh. Rontokan daun-daun pepohonan di depan sekolah beterbangan memutar-mutar melayang.
Ada beberapa anak, adik kelas kami yang berada di teras kelas, tiba-tiba berlari menjerit. Kami mulai panik. Anak-anak tidak tahu harus berbuat apa. Semua baru mengalami kejadian alam seperti ini. Hingga kemudian Pak Guru Sarjono menyuruh kami keluar kelas. Mengajak semua yang ada di sekolah pada waktu itu berkumpul di ruang guru. Ruang paling kiri dari bangunan yang memanjang dari timur ke barat. Yang selesai dibangun tahun 1977. Dan masyarakat desa kami menyebutnya SD Inpres.
Dua puluh menit kami tersiksa dengan ketakutan kami yang begitu sangat. Anak-anak belasan tahun ini harus bertahan dari hantaman angin puting beliung yang bertamu sore itu. Kami mulai merasakan ketenangan kembali. Lambat laun hujan mulai reda. Terpaan angin yang bergerak melingkar mulai hengkang dan menghilang.
“Sudah, kita tidak usah melanjutkan pelajaran. Mumpung hujan sudah renda. Kita semua pulang”, Pak Guru Sarjono mengajak kami keluar dari ruangan.
Kami bergerak bergerombol keluar. Pandangan kami arahkan ke sekitar sekolah kami. Atap tinggal menyisakan sedikit seng yang masih mampu bertahan. Sebagian besar sudah tergeletak di halaman, di lapangan bola, hingga pesawahan barat sekolah.
Tidak ada yang lebih mengejutkan diri kami. Dari jarak tiga ratus meter kami melihat gudang KUD roboh. Balai Desa kami roboh. Dan sebuah penggilingan padi yang berdekatan dengan kedua bangunan tadi bernasib sama. Kami gelengkan kepala. Tak mengira, begitu hebatnya peristiwa yang baru terjadi. Tak terbayangkan oleh kami, andai sekolah kami ikut roboh. Maka kami akan menjadi berita di koran dan berita regional RRI. Menjadi penghuni rumah sakit. Atau malah sudah jadi mayat. Beruntung, itu tidak terjadi.
“Ayo, cepat pulang. Kalian jangan di sini terus!” Pak Guru Sarjono mengingatkan kami untuk segera kembali ke rumah.
Di bawah rintikan hujun yang masih turun, bergegas kami berlari sepanjang jalan raya beraspal. Kami berteriak-teriak.
“KUD roboh! Balai Desa roboh!” bersahutan kami mewartakan yang baru kami lihat.
Suara kami riuh dan kencang. Kami bergerak sepanjang lebih tiga ratus meter. Menjadikan orang-orang yang sedang di kantor Koramil, Polsek dan kecamatan membuka pintu dan keluar.
“Pak, roboh Pak. Hancur di sana!” salah seorang berteriak kepada mereka, sambil menunjuk ke arah utara, tempat ketiga bangunan itu menjadi mangsa angin puting beliung.
Berita robohnya tiga bangunan itu langsung menyebar. Dengan berpayung dan memakai caping, orang-orang meninggalkan rumah berduyun-duyun menuju lokasi kejadian. Tidak saja para bapak. Ibu dan anak-anak pun tak ketinggalan.
Sore itu desa kami menjadi ramai. Tiga bangunan itu telah membangkitkan warga desa kami yang dari tadi terkungkung di rumah karena lebatnya hujan, keluar menyisiri jalan raya. Sendirian ataupun beriringan sejauh satu kilometer ke tempat kejadian. Menghimpun cerita tentang peristiwa langka sepanjang mereka menjadi penghuni desa.
Bumi Cahyana, Purbalingga. 02.01.2015
_____________________________________
Foto: SD Negeri Pekiringan 3 (Dokumen pribadi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI