Bi, kunang yang pernah hinggap di pelupuk mata,
Saat aku mendatangi rumahmu, aku baru tahu. Kamu perempuan pemberani. Peliharaanmu bukan selayaknya perempuan yang senang kucing atau si burung-burung. Simpananmu bukan perhiasan emas atau batu akik.
Tapi, sebuah hamparan luas yang menyeramkan: Tambakboyo.
Oh, Dinda. Tak kusangka senyuman di fotomu menjungkirbalikan kenyataan. Kau tak selembut dugaanku. Kau garang. Buaya yang ditambakmu bisa bertekuk lutut hanya oleh kibasan tanganmu menampar angin.
Entah ilmu darimana. Gunung Kemukus tidak menyajikan ngelmu semacam itu.
Manakala aku dekati buaya-buaya itu. Terlihat, dirimu begitu cemas terhadapku. Aku sungguh takut setegah mati. Namun, ketahuilah. Lelaki mencoba keberaniannya di hadapan perempuan. Dan aku melakukan itu. Sekejap kemudian aku baca di benakmu, kau tulis kaliat: Kau pejantan tangguh!
Aha. Aku terpesona disebut “Pejantan Tangguh!” apalagi pakai tanda seru (!) Berarti tangguh banget. Cuma, kamu malu mengungkapkannya, ya kan?
Kucoba berjalan di tepi tambakboyomu. Aku hampir terpeleset. Kau raih tanganku kemudian. Ah, aku baru tahu, kau masih lugu, ternyata. Itu tipuan laki-laki, Dinda!
Mestinya aku dibiarkan saja. Biar terluka oleh buaya. Bukankah laki-laki hebat, tercipta karena penuh luka? Aku belajar itu dari Mel Gibsen. Aku nonton filmnya: Brave Heart.
Tapi seketika ada laki-laki lain yang cemburu terhadapku. Dia itu, Bapakmu. “Bianca, jangan berduaan di situ!”
Oalah, Bapakmu! Seperti belum pernah jadi anak muda saja!
Aku baca pada sorot matanya, dia menampakkan kecurigaan terhadapku teramat dalam. Sedalam tambakboyo milik putrinya. Dan, aku menduga. Sungguh, ini dugaan anak muda saja. Bapakmu trauma, karena dirinya pernah jadi lelaki buaya. Dan putrinya tak boleh jadi korban. Hi hi, laki-laki kalau sudah tua baru bisa sadar dengan masa lalunya.
Kau tanya padaku: “Apa nggak takut dimakan buaya?”
“Oh, jelas tidak” Aku jawab dengan sedikit membusungkan dada.