Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sekarung Senja untuk Is

29 Juni 2016   07:30 Diperbarui: 22 Agustus 2017   12:33 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: finheaven.com

Jika bukan karena omelan lelaki  tua Ayah Is, Is yang kekasihku itu, aku mungkin tak akan memetik senja. Senja yang aku dapati saat aku berada di atas Jembatan Serulingmas. Senja yang benar-benar membinarkan mata. Aku tidak mau memerikan tentang senja, karena selalu mendadak menjadi sulit untuk kulukiskan keindahannya. Mungkin karena aku terlalu mengagumi, sampai aku menjadi gagap untuk itu.

Saat aku melihat senja kala itu, jantungku berdegup kencang. Ada benturan dari dalam dadaku yang bersamaan dengan itu, hatiku bersuara keras, ”Petik senja itu....! Dan bawa segera ke rumah Is!”

Aku tak mengerti dengan perintah memetik senja. “Ambil karung yang ada di sepedamu!” kata hatiku lagi. Seketika itu aku mengambil karung. Tapi aku bingung: untuk apa? “Untuk mewadahi senja, goblok!” Aku jadi tersenyum. Baru kali ini hatiku menggobloki diri sendiri. Tapi aku mencoba tenang dan ikhlas dengan situasi yang aneh ini.

Kemudian, aku seperti diarahkan bagaimana mengais senja sore itu. Aku menaiki pembatas pada ujung timur jembatan. Tingginya hampir satu meter. Di atas cor beton persegi panjang itu aku berdiri. Tangan kiri memegang karung yang ujungnya menganga. Sedangkan tangan kanan menggapai-gapai meraih senja. Lantas memasukannya ke dalam karung.

“Wow…..!” aku girang bukan buatan.

Aku tak menduga, senja bisa kupetik seperti memetik buah mangga, jeruk atau jambu. Orang-orang yang melintas di jembatan itu terpana melihatku. Memandang dengan sorot mata aneh. Mungkin aku dianggap sedang gila. Tapi aku tetap fokus pada yang kulakukan. Aku tidak tahu lagi, sudah berapa banyak orang yang memerhatikanku saat itu.

Dan akhirnya, sekarung sudah penuh senja. Aku mengikatnya dengan seutas tali karet ban dalam sepeda. Karung aku letakkan di boncengan, terikat menindih kuat logam penyangga pantat itu, sebagaimana Is sekali waktu bersamaku membonceng.

Is, kekasiku itu pernah mengadu kepadaku dengan wajah malas tersenyum: “Bapak bilang, jangan berharap pada lelaki yang hanya bisa menjanjikan senja padamu!”

Aku tersenyum mendengarnya. Atau setidaknya memaksakan diri untuk tersenyum. “Berarti dia Bapakmu betulan, Is,” aku memulai menanggapi. “Ia ingin anak perempuannya kelak hidup kecukupan. Tidak makan mimpi-mimpi atau hayalan lelaki.”

Is menatapku memelas. “Tapi itu penghinaan. Pelecehan terhadap lelaki kekasih hatiku. Melecehkanmu!”

Memang, aku pernah bilang kepada Is: “Suatu hari nanti, aku akan membawakanmu senja.” Aku katakan itu pada malam di rumahnya. Kami duduk berdua di serambi depan. Mungkin Bapaknya mendengar itu. Mungkin sekali. Lelaki tua itu sering berdehem-dehem tak jauh dari kami berduaan. Tapi tak menampakkan diri. Dehemnya bermakna isyarat: “Aku mengawasimu!” atau “Sebaiknya kamu cepat pulang, sekarang!” Jadi, sangat mungkin bila dia mendengar tentang suara yang keluar dari mulutku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun