[caption caption="kaskus.co.id"][/caption]Minggu malam yang tak seperti minggu biasanya. Agak ramai.
Bus bergerak perlahan dengan empat puluh enam penumpang berkarcis. Meninggalkan pangkalan Kebayoran Lama malam itu. Tepatnya pukul tujuh. Lalu lintas lancar, sedang bus pelan memasuki pintu Tol Ciledug 2 dan kemudian mengembara di atas aspal tol dalam kota.
Lampu jalanan dan gedung-gedung menjulang menuding angkasa berpadu mesra dengan langit yang cerah. Saya tetap terkesima dengan pesona Jakarta pada malam hari. Entah kenapa, selalu saja begitu. Kagum yang tak berkesudahan dari dulu hingga kini. Bahkan lagu Andi Mariam Matalata yang sudah lebih dua puluhan tahun yang lalu saat kali pertama berbisik di telinga, masih saja lekat dalam benak. “Lenggak Lenggok Jakarta”, lagu tahun 80-an itu, memang menggambarkan kehidupan metropolitan. Kata syairnya: “Jangankan cari sorga dunia, neraka dunia pun ada.” 1)
Apakah sorga dan neraka di Jakarta itu tampak jelas? Atau sumir? Dalam bercanda, saya ingin sekali membuktikan. Untungnya, tidak juga kesampaian.
Tidak tahu persis, berapa jumlah penumpang tak berkarcis dalam bus yang tengah saya bawa saat itu. Tentunya mereka balita. Artinya, saya mungkin saja membawa lima puluh nyawa manusia. Atau kurang dari itu. Atau kalau lebih, tak jauh dari jumlah itu. Tapi sudahlah, itu sudah biasa. Ini kan Indonesia. Jumlah penumpang yang tercatat dengan kenyataan sering beda. Dan cenderung lebih banyak.
Sekarang, bus terus melaju mengendus pekatnya malam. Menghirup partikel-partikel yang melayang-layang di udara. Mengarah masuk ke pintu tol Cikedung-Indramayu, dan kemudian melintas kembali di sepanjang Tol Cipali. Kami baru menyelesaikan istirahat setengah jam tadi di rumah makan tepi jalan pantura.
Ya, Jakarta hingga Indramayu terasa cepat. Tol membuatnya demikian. Kecuali jika bertemu libur panjang. Terlihat pemandangan yang berbeda. Tol keluar Jakarta berwajah tak ubahnya dengan kemacetan keseharian di Ibu Kota. Saya sering geli, negara yang tidak juga maju-maju ini, tapi memiliki jumlah mobil melebihi negara-negara maju. Mmm, semoga yang punya mobil orang-orang kaya beneran! Bukan sekedar pulang bermobil, untuk disebut sukses. Ada yang bilang, sukses saat ini ditunjukkan dengan memiliki kendaraan pribadi roda empat itu. Ah, benarkah begitu?
Mendekati pukul sebelas, malam itu. Tol Cipali ke arah timur lengang. Seperti menembus jalan perawan saja. Padahal Cipali sudah lama tidak perawan lagi. Badan jalan lebih banyak dilintasi bus antarkota antarprovinsi. Sesekali mobil pribadi. Nyaris, truk angkutan barang dan sejenisnya tak tertangkap mata. Berbeda dengan jalur sebelah dari arah timur, kendaraan ramai lancar. Agaknya mereka sisa-sisa pemudik yang pulang sehabis berlibur panjang tiga hari.
Saya menekan pedal gas hingga kecepatan 80 km/jam. Kemudian naik sedikit. Beberapa bus satu PO dengan saya berhasil terlampaui. Saya yakin, penumpang senang dengan kecepatan ini. Pikir saya, mereka pun ingin lekas sampai. Duduk terlalu lama dalam perjalanan panjang dalam bus ber-AC, tak selalu membuat orang kerasan.
Walau ada stiker menempel pada kaca belakang bus, bertuliskan: SESAMA BUS AKAP DILARANG SALING MENDAHULUI,2) saya mengabaikannya. Sikap saya kenyal terhadap hal itu. Bagi saya, jika memang harus mendahului, ya… mendahului saja. Apa dosanya! Apa harus membuntut supir gaek yang membawa bus 7000-an cc ini seperti membawa seekor unta? Hmm, kapan sampainya! Penumpang pasti nggrundel jika begitu. Cuma enggan berteriak saja.
Biarpun supir, saya menempatkan diri pula sebagai penumpang. Ingin yang cepat. Yang penting jangan ugal-ugalan. Dan, kata yang paling membuat saya tersenyum dan teringat yang di rumah adalah “Demi Nyai”. Saya terkesan dengan tulisan ini. Biasanya saya membaca pada pantat bak truk.