[caption caption="lentera-pembebasan.blospot.co.id"][/caption]
Saya katakan untuk kesekian kali, bahwa menjadi Ketua RT adalah jabatan yang paling repot di negeri ini. Melebihi presiden, pokoknya. Jadi, jangan sekali-sekali membandingkannya dengan jabatan gubernur, bupati, juga walikota. Itu tak perlu.
Dan pada bulan April ini, saya dihadapkan pada satu kejadian yang baru kali ini singgah di "rumah jabatan". Anggap saja begitu, karena lebih dari sepuluh tahun, rumah saya terkenal sebagai Rumah Ketua RT.
Ada dua keluarga muda yang baru beberapa hari punya bayi mungil. Mereka bertengkar. Persoalannya adalah mengenai nama anaknya. Mereka sama-sama menamai bayi perempuannya adalah Kartini.
“Anak saya lebih dulu lahir, Pak RT. Lebih cepat satu jam. Jadi saya punya hak untuk lebih dulu menamai Kartini,” Kata Hendra.
“Tapi, Pak RT. Jauh hari, setelah USG, kata dokter kandungan, anak saya akan lahir pertengahan April. Dan istri saya menyiapkan nama Kartini untuk bayi kami. Setelah bayi lahir, saya dan istri sepakat untuk secepatnya syukuran. Terus kirim bubur merah putih,” ungkap Ramadan.
Agaknya mereka sama-sama enggan menerima kenyataan. Tidak mau satu dan lainnya punya anak bernama Kartini. Entah bagaimana mulanya, istri mereka saling mencibir di tepi jalan saat mereka berpapasan. Saya tidak mau menceritakan isi cibiran mereka. Saya lebih senang fokus pada misi sebagai Ketua RT.
Saya bertanya pada kedua lelaki ini, yang kemarin hari saya kasih saran untuk berdamai mewakili istrinya di rumah saya: “Apa ruginya bagi kalian punya anak bernama sama?”
Ramadan lebih dulu menjawab. “Sangat tidak enak, Pak RT. Masak sih… satu RT dan bertetangga dekat pula, punya nama anak kok sama. Ujung-ujungnya nama orang tuanya dibawa-bawa. Misalnya begini, Pak RT. Karena ada lebih satu Kartini lantas orang bertanya: Kartini.... Kartini siapa? Terus orang menjawab: itu lo, Kartini Ramadan.”
“Kalau saya lain, Pak RT!” kata Hendra. “Saya dan istri tidak mau anak kami disamakan, nanti orang-orang membandingkan Kartini kami dengan Kartini dia. Saya ingin orang melihat sosok Kartini yang baik di tempat ini… ya, Kartini anak saya. Bukan Kartini anak dia.”
Oalaaah….