Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bulan Kemanusiaan RTC) Bi Mirah

27 Juli 2016   23:04 Diperbarui: 28 Juli 2016   21:28 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rahmanwahyu.wordpress.com

Sudah  tidak perlu harus diulang lagi kisah lalunya.  Perempuan ini memang  menikah lebih sekali.  Lima kali sepanjang ia ingat.  Kawin-cerai, jaman dulu itu gampang, akunya.  Jodohnya murah, memang. Seperti arti namanya: Mirah. Mirah itu dalam bahasa Jawa bermakna murah.  Tapi tak semurah jodohnya, kelima perkawinannya tak satu pun menghasilkan keturunan.  Dan, saat rentanya kini,  ia tinggal sendiri di sebuah rumah keponakannya.

Tubuh Bi Mirah, perempuan itu, bungkuk. Jika berjalan  pada siang hari, ia seperti berlomba dengan tundukan  pohon-pohon yang menahan cecaran panas matahari. Jika diukur, tubuhnya  setinggi anak sekarang yang baru kelas empat SD umumnya. Malah bisa rendah dari itu. Tidak ada ketegakkan sama sekali. Maka jalan pun sedikit sempoyongan. Kakinya tak kuat lagi menyangga tubuh berjalan terlalu jauh. Sesekali ia berhenti.  Ia letakkan barang bawaannya, sekedar mengendurkan otot tangan.  Kadang, kedua tangannya ia taruh dipinggang, seperti lazimnya menahan perut sakit.  Ia hela nafas berkali-kali.  Ia kepayahan.

Dulu  Bi Mirah pernah menjadi pembantu rumah tangga keluarga pensiunan tentara  yang sempat menjabat lurah.  Semenjak  orang itu tak terpilih lagi dan pindah ke tempat lain, perempuan itu tak jelas lagi dan tak tampak  di desa. Beberapa orang bilang, ia di Bandung. Sedang yang lain hanya mengira ia di Jakarta. Tapi itu tak berapa lama. Mungkin hanya lima tahun. Sesudahnya, Bi Mirah kembali ke desa.  Hanya pekerjaan buruh seperti ani-ani  saat musim panen atau menancapkan bibit pada musim tanam padi,  ia selalu ada di tengah sawah.  Berterik-terik, bersama perempuan-perempuan lain menjadi garda penjaga kelangsungan lumbung pangan.

Sekali waktu, Bi Mirah yang rambutnya banyak memutih itu berdagang.  Dagangan minuman seperti sitrun jika ada keramaian di lapangan bola.  Masa dulu, minuman sejenis itu masih diminati anak-anak, tentunya.  Tapi itu sekali waktu saja.  Bukan pekerjaan sehari-hari.  Maka ia kerap berharap, di lapangan itu sering ada tontonan: pertandingan bola, perkemahan atau apalah.  Yang penting orang banyak di lapangan.  Karena itu, ia bisa jualan.

Kemarin malam ia harus dipapah pulang ke rumah. Ia “ndemprok” tak sanggup berdiri. Kedua kakinya mengarah ke kiri dengan lulut menyudut.  Satu tangannya; tangan kanan, menyangga beban tubuh. Sahlan dan Kasirun bersegera mengangkatnya. Dua orang itu memapahnya hingga sampai ke rumah. 

“Aku nggak kuat berdiri,” rintihnya dengan mukena yang masih membungkus tubuh selesai tarawih pada malam ke ganjil, malam ke dua puluh lima itu.

Beberapa perempuan jamaah mushola mendekat, mengerumun. Salah satu berteriak ke arah depan. “Sahlan.  Tolong  Bi Mirah ini…..!"

Lelaki  tegap pengayuh becak di desa itu bergegas.  Beberapa lelaki lain mengikut.  “Aku lemes.   Lemes banget ,” ucapnya lirih kemudian.

Hanya sampai di rumah saja, kemudian Sahlan dan Kasirun meninggalkan Bi Mirah sendirian malam itu.  Perempuan itu berbaring di kamar.  Seperti hari dan malam lainnya, ia sendiri dalam rumah yang sebagian besar langitnya ambrol.  Kaso-kaso sudah digerogoti rayap.  Udara pengap di dalamnya. Dan penerangan lampu listrik pun seadanya.

“Bi, kalau dua puluh tiga rakaat terlalu berat, jangan memaksa,” nasihat Bu Nurlela, tetangganya yang menengok esok hari sekitar jam enam pagi itu.  “Sebelas rakaat saja kan bisa?”

Perempuan tua itu mengucek mata. “Biasa dua puluh tiga, Bu Nur, “jawab Bi Mirah.  “Dari dulu begitu…..”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun