Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Buku dan Minat Kita

17 Mei 2015   20:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

19 April 2015, siang itu cuaca cerah.  Bus Patas yang yang saya naiki dari Terminal Klari, Karawang memasuki halaman parkir sebauh rumah makan di jalur selatan Jawa, Ciamis.  Inilah tempat beristirahat, sekaligus sebagai  check point perusahaan armada itu.

Lepas waktu setengah jam rehat dan semua penumpang berada di dalam bus, menaiklah seorang pria membawa setumpuk buku. Bla bla bla, ia membuka penawaran  dan dilanjutkan membagi aneka buku dengan berbagai  judul.  Dari penumpang paling depan hingga ke belakang.

Pria itu berpeci haji, berkacamata dan berpostur tubuh pendek.  Menawarkan buku-buku agama  di atas kendaraan.  Saya teringat lagi dengan pria ini, setelah sekitar dua puluh tahun tidak  pernah melihatnya lagi.

Saya masih hafal padanya.  Perubahan yang mencolok cuma satu, rambutnya sudah banyak yang memutih.  Dugaan saya ia sudah lebih dari separuh abad mengarungi hidup.  Sedangkan kali pertama saya melihatnya, ketika saya berusia dua puluhan tahun di sekitar jalan raya Gombong, Jawa Tengah.  Di atas bus saat perjalanan dari Yogyakarta ke Purwokerto.

Bapak yang duduk berdampingan dengan saya di bus kala itu berujar,”Orang itu ulet sekali Mas.  Jualan buku dari bus ke bus.  Pindah dari kota satu ke kota lain.”

Orang yang mengaku pegawai Departemen PU, terlihat kagum dengan kegigihan si penjual buku itu.  Hal yang mungkin terjadi, ia sering mempergoki orang tersebut di berbagai tempat.

Dan benar juga, di berbagai waktu saya pun akhirnya sering melihat dia.  Di terminal Purwokerto, Perempatan Buntu-Banyumas  dan lainnya.  Tetap dengan berbagai aneka buku yang ada di tangan dan tas yang menggantung di pundaknya.

Akhirnya saya merenung.  Berarti pria tersebut telah lebih dari dua puluh tahun berdagang buku secara mobile, bahasa kerennya.  Dari Bus ke Bus, dari terminal ke terminal dan entah jenis lokasi apalagi yang menjadi ajang meraih penghasilan.

Selama itu pulalah pria ini mengumpulkan rupiah demi rupiah, untuk menghidupi keluarganya. Dalam istilah agama, ia istiqomah, konsisten menjalankan profesinya.

Kenapa bisa bertahan selama puluhan tahun dengan model dagang buku seperti itu?  Dugaan saya: Karena tak terlalu banyak saingan! Dan setidaknya, ia meyakini ada orang yang mau membeli, ada yang membutuhkan dan mau membacanya.

Sesekali saya mencoba melihat isi buku dan penerbitnya.  Memang bukan dari penulis atau penerbit nasional.  Tapi pantaslah ia mau berjibaku berjualan secara nomaden karena segmen pasarnya memang untuk kalangan menengah ke bawah.  Harga berkisar sepuluh ribuan, jadi masih mudah dijangkau oleh kebanyakan orang yang tengah bepergian.

Saya mencoba meluaskan pemikiran dari pengalaman di atas.  Andai saja minat baca buku masyarakat Indonesia tinggi, dampaknya adalah tumbuhnya usaha penerbitan.   Penerbit memburu banyak penulis untuk mau menuangkan ide tulisannya dan diangkat dalam bentuk cetak.  Aha, ini merangsang minat orang untuk berkarir di dunia tulis-menulis menjadi semarak.

Efek dominonya, penerbit membutuhkan pemasaran, di sinilah peran toko buku, agen bahkan para pengecer mendapat peluang ekonomi.  Artinya adalah, buku memberi dampak ekonomi sebagai sumber penghidupan.

Siapa yang mengira, pria yang sudah saya ceritakan di atas bisa  bertahan dalam pencarian nafkah hidup dengan mengandalkan jualan buku secara eceran, dari bus ke bus, dari satu kota ke kota lain.

Sejujurnya, ia sudah memanfaatkan peluang yang mungkin saja tidak terbaca oleh orang lain.  Atau, kalau pun  terpikir oleh orang banyak, tapi mereka tidak mewujudkan dalam tindakan.

Kenapa? Tak susah untuk menjawabnya, orang Indonesia masih enggan untuk rajin membaca buku.  Sekarang ini lebih rajin membaca SMS maupun BBM, hehe.  Membeli buku pada sebagian besar kalangan masih dianggap bukan kebutuhan.  Padahal pulsa sudah menjadi kebutuhan semi “primer”.

Bisa jadi orang memiliki penghasilan besar dan pendidikan pun tinggi  belum tentu memiliki alokasi dana per bulan yang di sediakan untuk membeli buku.  Coba tanyakan saja kepada mereka, kapan terakhir membaca buku? Jangan kaget kalau jawabannya: pada saat mau ujian skripsi.

Rasanya kita ini masih terseok-seok dengan urusan minat baca buku, apalagi setelah gempuran teknologi komunikasi dan  informasi.  Kita yang telah lama dalam budaya lisan, dan belum tuntas untuk bergumul dengan dunia baca tulis, akhirnya karena perubahan jaman, harus bergeser cepat ke era informasi digital.

Kita lebih cepat mengubah gaya penampilan kita dengan aneka gadget terbaru, walaupun hargnya mahal, tetapi tidak sempat melirik berbagai jenis judul buku baru yang terbit, kendatipun menarik, inspiratif dan harga terjangkau.

Beginilah kenyataan yang kini tengah menggelayut di tengah masyarakat, utamanya  pada kalangan generasi muda.  Terlihat masih sedikit yang secara rutin mendatangi toko buku, berdiri berlama-lama mencari judul yang menarik mereka, kemudian membelinya.

Padahal dari bukulah kita dapat mencari ilmu, mengembangkan ide-ide yang ada didalamnya.  Dan, tidak lupa, dari bukulah kemudian orang-orang tertentu mendapatkan jalan untuk bisa membuat tulisan, entah artikel ataupun buku.

Maka untuk menggairahkan  peneribitan buku dengan karya yang bermutu, perlu disokong oleh minat membaca masyarakat yang tinggi.  Lingkungan keluarga selalu diharapkan menjadi titik awal keberminatan membaca.  Orang tua yang gemar membaca buku, mengajak anak-anak ke toko buku sebagai satu`cara gaya`berekreasi. Ini satu cara merangsang anak-anak untuk mengikuti kebiasaan orang tua.

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah kalimat yang saya temukan pada sebuah buku sepempat abad silam.  Selarik tulisan tangan pada lembar judul sebuah buku teks: MEMBACA MEMANG BERAT, TAPI TERHORMAT.

Selamat Hari Buku Nasioanal.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun