[caption caption="metrotimes.com"][/caption]
Terlihat ia duduk tidak tenang. Rambutnya mengisyarakat itu. Pundaknya pun bergerak-gerak. Dari belakang, aku bisa melihat, kendati dalam remang cahaya.
Perempuan itu, yang masih terlihat muda, beberapa lama yang lalu duduk persis di samping kiriku, setelah menghentikan bus yang aku tumpangi petang itu; bus antar kota dalam provinsi. Ia mencegat di jalan, berselisih dua puluh lima menit denganku yang lebih dulu di atas bus.
Perempuan dengan kemeja putih, berok pendek gelap yang sepertinya hitam, tapi tidak terlalu hitam itu langsung menyapaku.
“Mau kemana?”
“Banjarnegara,” jawabku.
“Mmm. Aku Wonosobo,” terusnya.
Kemudian kami tak lagi bercakap.
Aku sendiri kerap canggung berbincang panjang dengan orang yang baru kukenal. Terlebih perempuan. Seperti ada saja kebuntuan untuk bertanya banyak-banyak. Ada juga kadang minder, jika perempuannya teramat anggun atau cantik. Tapi aku tetap suka berdekatan dengan perempuan. Aku suka mencuri wangi-wangi tubuh mereka.
Bus menerabas angin pada petang yang semburat merah di sisi barat tengah menggalang kekuatan perpisahan menuju malam. Kecepatan bus yang tubuhnya tak lagi mulus karena termakan usia, tak punya ritme pas buatku. Sebentar cepat, kemudian pelan. Kemudian berhenti menaikkan penumpang. Kemudian melaju lagi. Berhenti lagi. Begitu berkali-kali.
Semakin lama, bus padat penumpang. Aku senang, setidaknya laju kendaraan akan menidurkanku. Harapku begitu. Sedang sore makin terasa. Aku sangat berharap pula, sudah tak ada lagi orang yang melambaikan tangan menghentikan bus ini. Tapi ternyata, tetap saja. Bukan hanya menaikkan, tapi menurunkan orang pun terjadi. Ah! Kesal. Dan aku baru kali ini pulang dari Semarang pada saat seperti itu.