Desaku belum ada aliran listrik, itu sewaktu tahun delapan puluhan. Tapi keluargaku punya televisi hitam putih 12 inc. Hanya dengan tenaga accu sebesar ukuran untuk mobil, kami baru bisa menyaksikan siaran TVRI. Tapi itu pun terbatas waktunya. Biasanya, belum sampai seminggu, kami terdiam tak bisa menonton tivi lagi, energi yang tersimpan habis dan accu harus disetrum ke kota.
Karena hal itu, pukul sembilan malam rumah kami sudah gelap. Lampu petromak sudah khatam menjalankan tugasnya malam itu. Hanya nyala lampu teplok yang ada di kamar. Saat itu, aku dan dua saudara lelaki tiduran di atas tikar pandan. Lamat-lamat, terdengar ada suara dari balik pintu belakang. Kami terbangun dengan perasaan curiga.
Kami mengamati perkembangan. Makin lama makin terdengar kencang. Dug….dug…dug, sebuah benda logam tengah dicongkelkan pada celah bawah pintu.
Kami yang masih SD itu mulai menduga-duga: ada maling!
Dalam keadaan ruang yang agak gelap, aku berusaha memberi kode dengan telunjuk ditaruh di depan bibir. “Sssst.” Saudaraku mengganguk. Paham.
Entah inisiatif dari mana adikku mengambil bilah penggaris kayu. Lantas, kami bertiga mendekat ke pintu. Dengan kaki berjinjit-jinjit kami berhasil mendekat dan ambil posisi nongkrong. Kami memperhatikan. Benda yang tengah dipakai untuk mendongkel pintu rumah adalah sebuah linggis, kira-kira berdiameter 3 cm.
Semakin ujung linggis itu masuk melewati celah bawah pintu, aku memukulnya dengan bilah penggaris. “Ting!” begitulah bunyinya.
Masuk lagi. ”Ting….” Aku memukulnya. Entah berapa kali tindakan itu aku lakukan. Dalam hati, aku cekikikan.