Beberapa orang beriringan. Tepatnya tujuh orang. Menuju ke istana raja pada sebuah negeri yang entah apa namanya. Negeri yang mereka cintai, karena memiliki pemimpin yang senang mendengarkan suara rakyat. “Dengarkan suara rakyat, dengarkan suara rakyat.” Suara raja itu menggema ke seluruh negeri. Pesan ini disampaikan bagi semua petinggi kerajaan. Agar membuka telinga lebar-lebar. Tidak ada alasan untuk mengabaikan. Maka karena itulah, beberapa orang itu ingin menyampaikan keluhan, langsung ke hadapan rajanya.
“Salam hormat kami untuk Baginda Raja. Izinkanlah kami sebagai rakyat akan menyampaikan keluhan.”
“Silakan. Ungkapkan dengan kemerdekaan hati. Pikiran jernih dan tanpa sungkan kepadaku.”
“Terimakasih Yang Mulia.”
Mulailah, seorang lelaki berdagu kokoh, bermata tajam berbicara dengan kedalaman suara. Baginda Raja menyimak, menundukan hati, menyalakan saraf-saraf telinga agar awas.
“Yang Mulia Raja. Kami sampaikan ketidaksukaan kami terhadap Perdana Menteri. Sekian lama menjabat, beliau lebih banyak berkicau. Itu sangat menganggu kami. Maka, mohon Yang Mulia untuk mempertimbangan mencari pengganti.”
“Baiklah. Saya dengar keluhanmu. Nanti ada keputusan dari istana, “Berkata sang Raja.
Beberapa waktu kemudian, dipanggillah Perdana Menteri ke istana. Pertemuan empat mata itu terjadi di sebuah gazebo taman istana. Para pengawal kerajaan menatap dari kejauhan.
“Perdana Menteri, kemarin serombongan rakyat kita menghadap saya di istana. Mereka menyampaikan keluhan tentang dirimu.”
“Tentang saya?”
“Ya. Mereka berkata, di luaran sana dirimu banyak berkicau dan mereka merasa terganggu. Maka jika itu benar, sebagai raja saya menghimbau agar dirimu memperbaiki diri.”