Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Nyawa Anak Disepelekan

9 April 2015   10:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="275" caption="antaranews.co.id"][/caption]

Seorang anak  SD menuntun sepeda motor, dibelakangnya seorang teman sesama lelaki mengikuti sambil menyentuh motor tersebut. Lantas berhentilah mereka.  Si penuntun menginjakkan kaki kirinya pada gundukan batu dan kemudian menaiki motor itu, sesaat kemudian temannya pun membonceng.  Gas ditarik perlahan, bergeraklah motor itu melintasi jalan raya.

Anak itu belum cukup panjang kakinya untuk bisa menapak saat duduk di jok motor, butuh material tertentu yang bisa membantunya, agar salah satu kakinya bisa bertumpu.

Itu satu pemandangan “konyol” yang sempat saya jumpai.  Anak-anak sekarang ini telah menjadikan motor sebagai  sarana mereka bepergian dan bermain, walau untuk jarak yang relatif dekat.  Tidak hanya di perkotaan, di wilayah pedesaan pun sudah menggejala.

Ini anak SD, yang dari  faktor  usia masih jauh untuk mendapatkan SIM.  Dari segi fisik rata-rata  tidak sebanding dengan besarnya kendaraan.  Apalagi untuk urusan tanggung jawab dan mental berkendara, mereka sangat belum pantas untuk mengemudikan kendaraan roda dua, apalagi sampai melintas di jalan raya.

Mengherankan, kenapa orang tua tidak memiliki kepedulian tentang hal ini.  Berkendaraan di jalan umum tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan memacu kendaraan.  Keselamatan diri dan orang lain harus menjadi dasar perilaku berkendara.

Risiko terbesar adalah terjadinya kecelakaan, yang tidak saja berujung pada luka, cacat permanen bahkan paling tragis yaitu hilangnya nyawa.  Jika bukan kecelakaan tunggal, maka ada  pihak lain yang terpaksa menjadi korban.  Betapa  membahayakan!

Seberapa besar anak-anak  SD tahu peraturan lalu lintas dan etika berkendaraan? Saya meyakini masih sangat minim.  Jangankan mereka, yang sudah memiki SIM pun masih kerap melakukan kesalahan berlalu lintas dan mengabaikan etika berkendara.

Karena masih anak-anak, mereka hanya memikirkan kesenangan menaiki motor, semakin kencang semakin memberi kebanggaan pada dirinya.  Belum lagi rangsangan dari luar seperti keinginan bersaing cepat dengan sesama teman saat memacu motor di jalan raya.

Gejala apa yang sebenarnya terjadi?  Saya melihat  ini sebagai bentuk permisif orang tua terhadap anak.  Anak diberi kelonggaran menggunakan kendaraan bermotor yang sebenarnya belum layak bagi dirinya.  Banyak orang tua sekedar mencari enak dengan menyenangkan anak-anaknya, walaupun membahayakan.

Tidak jarang kita melihat, anak-anak SD  diajari oleh orang tuanya mengemudikan motor.  Anak hanya mau saja, karena itu artinya ada suatu persetujuan orang tua bahwa ia diperkenankan menggunakannya.  Jadi bukan sesuatu yang salah.   Anak tidak akan bicara aspek hukum, yang dia tahu adalah kesempatan untuk bisa mengendarai.

Orang tua lalai bahwa anak-anak kecil ini belum siap untuk menerima risiko berkendara.  Belum memiliki tangung jawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Maka dibutuhkan kesadaran dan kepedulian para orang tua mengenai hal ini.  Kendaraan bermotor bukan sebuah mainan yang dengan mudahnya kemudian diberikan kepada anak yang belum dewasa.  Ada konsekuensi hukum yang melekat dengan setiap pengguna kendaraan di jalan raya.

Apakah masih belum juga cukup menjadi pelajaran, kejadian kecelakaan lalu lintas yang kerap mendera para pemakai jalan?  Bagi orang tua yang memiliki kewaspadaan tinggi, tentu memahami tentang hal ini.  Tetapi itu tidak terjadi pada setiap orang tua.

Oleh karena itu, faktor pendidikan di sekolah menjadi  wahana untuk memberi pengertian kepada anak-anak.  Para guru seyogyanya melihat, bahwa gejala sosial ini bisa memberi pengaruh kurang baik pada anak.  Sikap permisif para orang tua, memberi celah terjadinya permakluman terhadap tindakan melanggar aturan lalu lintas.

Jika hal sejenis ini terjadi terus-menerus, maka untuk jangka banyak akan terakumulasi menjadi generasi yang abai terhadap nilai atau norma hukum.

Saya tutup tulisan ini dengan menyitir pendapat ilmuwan bahwa sesuatu yang salah, jika dilakukan terus-menerus akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau normal. Psikoanalis  asal Jerman, Erich Fromm, menyebutnya sebagai The Patology of Normally.

Inikah wajah Indonesia terkini?  Semoga saja bukan.

___________________________

Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 9 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun