Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Priyayi dalam Birokrasi

18 Desember 2014   20:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:02 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: Republika.co.id

TIGA buah mobil Toyota Innova plat merah parkir memanjang berurutan di depan Rumah Sakit Umum Daerah saya.  Tampak pula sebuah mobil milik Satpol PP berada paling depan.  Beberapa petugas Satpol PP dengan balutan di lengan kiri bertulisankan “PROV”, tengah berdiri di sekitar mobil rombongan itu.  Keren sekali mereka.   Saya berpikir, sedang ada kunjungan kerja pejabat ke RSUD yang tengah saya datangi.

Benar adanya, selang beberapa lama beriringan beberapa orang menghampiri mobil plat merah itu.   Beberapa pejabat rumah sakit mendampingi mereka menuju pintu mobil.  Mereka telah menyelesaiakan kunjungan dinasnya, dan hendak kembali ke kantor.  Satu yang saya kenal dari pejabat yang terlihat adalah Sekretaris Daerah Kabupaten.  Beliau pernah menjadi Camat di wilayah saya, dan berasal dari desa yang jaraknya hanya sepuluh kilometer dari tempat tinggal saya.  Jadi saya bisa memastikan bahwa rombogan itu berasal dari Kantor Sekretariat Kabupaten.

Setelah saya menghitung jumlah rombongan, ternyata tidak lebih dari tujuh orang.  Artinya, tidak perlu dengan menggunakan tiga buah mobil innova sebenarnya bisa.  Satu mobil saja mungkin  cukup.  Tapi kenapa harus menggunakan kendaraan beriringan?  Sepertinya para birokrat kita masih masih "canggung" untuk melepaskan diri dari jerat setempel priyayi.  Setiap pejabat eselon memiliki wilayah privasi sendiri, yang enggan disatukan. Termasuk untuk berada dalam satu mobil sekalipun.  Pejabat yang paling tinggi terpisah, dengan pejabat lain yang lebih rendah.   Kesannya, jika berada dalam satu mobil dinas, menjadi kehilangan nilai secara struktural organisasi.   Dengan demikian, mentalitas birokrat semacam ini, yang notabene ada di jaman moderen, masih terjebak  pada mentalitas bangsawan atau punggawa dalam pemerintahan kerajaan.  Senang beriringan dengan kereta kudanya masing-masing. Ha ha ha.

Semestinya aspek efisiensi dalam birokrasi harus menjadi pertimbangan dalam berperilaku.   Bukan semata-mata memanfaatkan fasilitas yang ada.  Tetapi harus memperhitungkan ketepatan penggunaan fasilitas itu.  Mobil dinas membutuhkan bahan bakar, yang dananya diambil dari belanja rutin.   Seberapa panjang jarak yang ditempuh, harus bisa dipertanggungjawaban, tidak saja secara nominal, tetapi kemanfaatannya.

Berapa jarak yang harus ditempuh dari kantor Sekretaris Kabupaten ke RSUD?  Saya memperkirakan tidak lebih dari satu setengah kilometer.   Aha, jarak yang sangat pendek untuk suatu kunjungan kerja pejabat.  Itu masih berada di lingkungan kota.  Jadi menjadi terasa berlebihan, melihat kenyataan bahwa untuk berangkat dan pulang harus diantar oleh mobil Satpol PP.   Tentu mobil Satpol PP membantu kelancaran iringan tiga mobil plat merah tersebut.  Tapi saya tidak melihat urgensinya, karena sesungguhnya kota saya,  Purbalingga, bukan wilayah yang memiliki kemacetan lalu lintas.  Jalan lancar, walau volume kendaraan banyak, sebagaimana kota-kota di daerah lain di Jawa Tengah.

Penggunaan mobil Satpol PP untuk mengantarkan rombongan lebih menonjokan sisi penghormatan kepada birokrat.   Kira-kira bunyinya seperti ini,”Wahai masyarakat, saya tengah mengantar rombongan pejabat daerah Anda. Pemimpin Anda.  Mohon pengertiannya!”.

Setidaknya, birokrasi masih menyenangi hal-hal yang bersifat protokoler.  Saya tidak dalam arti membencinya, tetapi menempatkan sesuatu pada kelayakan waktu dan tempat yang perlu diindahkan.    Ketika pemerintahan pusat tengah sibuk bicara efisiensi anggaran dan pengurangan fasilitas bagi para pejabat publik, semestinya semangat ini harus merambah ke pemerintahan daerah.  Birokrasi daerah harus menjunjung tinggi aspek pelayanan publik (publik service), bukan menonjolkan hak istimewa (privilege) bagi pejabat.  Karena pada dasarnya pejabat birokrasi adalah “Jongos” (servant).

Menjadi “jongos” bagi masyarakat menuntut diri mereka lebih banyak bekerja bagi kepentingan masyarakat.  Melayani, bukan merepotkan ingin dilayani. Membantu memecahkan masalah, bukan membuat masalah.  Mentalitas ingin dilayani menggambarkan masih ada selimut priyayi  pada diri mereka.   Sering kita lihat, kunjungan kerja aparat birokrat  ke berbagai tempat, utamanya ke desa-desa, justru sering memboroskan waktu dan tenaga masyarakat setempat.  Padahal waktu kunjungan teramat singkat.  Apakah semangat efisiensi dan kerja, belum bisa di baca oleh para birokrat di daerah?  Entahlah.

Bumi Cahyana, Purbalingga.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun