Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musim Hajatan Telah Tiba

21 Desember 2014   20:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:47 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ACARA pernikahan dan sunatan saling berkejaran.  Undangan menumpuk di meja, dibaca sekilas dan dilipat kembali. Diingat hari dan tanggalnya.   Kadang dalam satu hari ada dua sampai tiga tempat bersamaan.   Satu kampung ataupun luar kampung. Antar kampung dalam kabupaten. Bahkan antar kota dalam provinsi.  Imbasnya, dukun pengantin, sewa traktag dan jasa sunatan kebanjiran order.  Rejeki namanya.

Orang sudah mulai bingung mengatur keuangan.  Penghasilan tetap tapi pengeluaran tak terduga semakin menggila.  Kenaikkan harga BBM dan jatuhnya nilai rupiah berpengaruh bagi sendi ekonomi keluarga.  Akhirnya, jatah amplop sumbangan mesti disesuaikan dengan perkembangan waktu.  Dulu sepuluh ribu di kampung mungkin masih pantas.  Sekarang sudah tidak lagi.  Semua harga kebutuhan pangan naik,  sewa alat-alat naik. Bahkan biaya sunat dan dukun pengantin pun ikut mamakia istilah pemerintah, menyesuaikan!   Rasanya inflasi bulan ini berimbas kepada anggaran belanja hajatan.  Jadi, bagi orang-orang tertentu, yang suka "berempati" dan "njlimet", menaikkan nominal isi amplop menjadi pertimbangan.  Biar ada kepantasan!

Tidak semua orang menghitung seperti itu. "Nyumbang ya, nyumbang semampunya, seiklasnya" begitu.   Kenapa mesti mikir kenaikan harga sembako dan lainnya.  Mereka berani mengundang karena sudah punya persiapan!

Tapi kenyataannya  tidak begitu.  Terkadang yang punya hajat bersandar pada uang pas-pasan.  Rezim kantong cekak! Alias minim modal.   Seperlunya saja mereka berani  memulai, nanti belanja yang lain menyusul seiring amplop sumbangan datang dari yang diundang.  Tragisnya jika itu tidak sesuai dengan kenyataan.  Maka besar pasak daripada tiang.  Akhirnya hutang.  Tak heran setelah hajatan ada yang sampai jual tanah warisan.  Bahkan sering terjadi, setahun dari hajatan dan sang pengantin akhirnya dikaruniai  anak, hutangnya belum lunas. Begitulah hajatan yang memaksa diri, tidak mau kalah gengsi.

Ada juga di suatu wilayah yang punya tradisi mencatat pemberian para undangan.  Entah berupa barang ataupun uang.  Hingga kelak jika mereka mengadakan hajatan, akan mengembalikan sesuai dengan yang dulu diberikan. Jadi kesannya seperti pinjam-meminjam.  Ada-ada saja!

Pengalaman paling menyiksa, jika yang mengundang orang kaya, mampu bukan kepalang, menyewa gedung dan lain sebagainya. Tapi yang diundang orang kurang mampu.  Mikir.  Kalaulah "ngamplop" mesti berapa duit.   Tidak menyumbang, masa iya sih.  Mau kasih sedikit, mikir lagi.   Serba susah.  Untuk kebutuhan sendiri saja belum cukup, malah harus menyumbang orang kaya.  Jadi lucu ya?

Tapi teman saya sangat masa bodoh  dengan kemungkinan itu. Walaupun dia mampu.  Ia dan istrinya sepakat.  Memberi sumbangan bagi yang kurang mampu saja.  Jika yang mengundang orang kaya, apalagi hajatan diadakan sampai sewa gedung besar, dipastikan tidak bawa amplop sumbangan.  Masuk, dan nikmati saja sajian makanan.  Asumsinya sederhana.  Mereka mengundang dirinya untuk datang dan ikut merasakan  kebahagiaan sebagaimana yang mereka rasakan.   Kenapa harus dibebani urusan amplop sumbangan.  Toh mereka sudah menunjukkan kemampuan keuangannya.   Sayangnya, tidak semua orang memiliki kenekatan semacam teman saya itu.   Ewuh! kata orang Jawa. Itu sudah jadi tradisi hajatan.  Suatu konvensi, kesepakatan tak tertulis.

Barangkali ada saja yang memutuskan tidak datang, walau mendapat undangan.  Biasanya orang semacam ini memiliki muka tebal dan kuping tebal.  Di kampung, pasukan semacam ini sudah menjadi catatan umum.  Tinggal menghitung, jumlahnya bertambah atau berkurang.  Semua tergantung intaian para warga. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun