[caption id="attachment_131328" align="alignnone" width="650" caption="poto radio nederland"][/caption] Perjuangan panjang para janda korban dan anggota keluarga pembantaian massal di Rawagede oleh tentara belanda pada 9 desember 1947 yang menelan korban 431 penduduk akhirnya dimenangkan oleh pengadilan sipil Belanda  pada hari Rabu 14 september 2011. Pemerintah Belanda berkewajiban memberikan kompensasi berdasarkan undang-undang Belanda dan alasan pemerintah belanda bahwa kasus kadaluarsa tidak bisa diterima. Rawagede yang kini nama desanya sudah berganti menjadi Balongsari, mempunyai sejarah kelam tentang kekejaman tentara Belanda terhadap Rakyat Indonesia. Tahun 1947an Rawagede salah satu pusat Gabungan laskar perjuangan dari Hizbullah, Laskar Citarum dan Barisan Banteng. Pada tanggal 8 Desembar 1947 Kapten Lukas Kustario komandan Batalyon Tajimelel/brigage II Divisi siliwangi   menyiapkan kekuatan  untuk menyerang markas kumpeni di Cilitan, sayangnya rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata.  Militer Belanda Berang dan langsung menyiapkan serangan dengan mengirimkan ribuan pasukan ke Rawagede. Sore harinya rakyat Rawagede sudah mendengar kabar kedatangan pasukan Belanda yang akan menghancurkan Rawagede. Rakyat ketakutan apalagi pasukan Kapten Lukas Kustario  sudah berada jauh dari kerawang  tepatnya didaerah Cibinong. Rakyat bertahan dengan peralatan seadanya dengan membuat benteng agar laju tentara Belanda tertahan, sayangnya ini tidak bertahan lama, tentara Belanda tambah Berang dan gelap mata, mengepung dari segala sudut dan para korban berjatuhan , sementara sisanya balik kerumah dan ada yang lari kehutan. Pada tanggal 9 Desember 1947 Tentara Belanda terus mengejar sampai kerumah-rumah warga, warga yang ketakukan mengunci pintu. Tentara Belanda Mendobrak rumah mencari senjata dan dan Kapten Lukas sayangnya yang dicari tidak ditemukan. Para lelaki yang tersisa dan anak-anak berumur 11-15 tahun dikumpulkan dan disuruh diri berjejer dan ditanya tentang keberadaan kapten Lukas dan para pejuang. Jawaban tidak tahu dari rakyat membuat pimpinan tentara Belanda untuk menembak semua lelaki dan remaja belasan tahun dengan jumlah korban 431 orang. Hujan yang menguyur Rawagede dan waktu sudah menjelang malam, tidak memungkinkan bagi para Ibu-ibu untuk mengubur mayat suami, anak dan keluarganya.  Baru keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari. . Inilah salah satu catatan kelam perlakuan penjajah belanda terhadap di rakyat Indonesia, bahkan masih ada 139 kasus perlakuan kejam tentara Belanda antara tahun 1945-1950 berdasarkan versi pihak Belanda. Kita berharap keputusan pengadilan sipil Belanda, membuat pemerintah dan kita sadar untuk  kembali membuka catatan sejarah tentang Indonesia masa lalu dan melakukan tuntutan keadilan kepada pihak Belanda, dari pembantai Westerling di Sulawesi , kereta maut Bondowoso Surabaya dan banyak kasus laiinya. Semoga saja pengorbanan para pejuang ini membuat elite dan kita  sadar untuk berbuat yang terbaik Indonesia. Inilah kutipan puisi Khairil Anwar yang melukiskan kisah rawa gede antara kerawang dan bekasi
KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan Atau tidak untuk apa-apa Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang-kenanglah kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang-kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H