Mohon tunggu...
T.S Trisno
T.S Trisno Mohon Tunggu... -

Political & Economic Research

Selanjutnya

Tutup

Money

Merger XL-Axis Antinasionalisme

3 Januari 2014   17:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1388743535607054578

[caption id="attachment_303568" align="aligncenter" width="300" caption="Merger Axis-XL Anti Nasionalisme/ Foto: tribunnews.com"][/caption] Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring telah membuat kekeliruan dengan menyetujui pengalihan langsung frekuensi 1.800 Mhz yang sebelumnya dimiliki PT Axis Telekom Indonesia (Axis) kepada PT XL Axiata Tbk. (XL). Meskipun Tifatul mengatakan bahwa merger Axis dengan XL ini bisa menghasilkan dana Rp 1 triliun untuk pemerintah, sebenarnya hal itu justeru merugikan. Karena, kalau frekuensi tersebut dikembalikan terlebih dahulu ke pemerintah, ada peluang negara akan memperoleh triliunan rupiah.

Selain keliru, keputusan Menteri Tifatul juga merupakan sebuah sikap yang meminggirkan nasionalisme dan membiarkan kepentingan asing berkuasa atas telekomunikasi di Indonesia. Padahal, arus informasi itu sangat penting dan tidak sepantasnya kita diintervensi oleh asing. Kalau frekuensi telekomunikasi ini tidak dijaga, jangan menyesal, kalau di kemudian hari banyak terjadi penyadapan di dalam negeri dengan menggunakan provider-provider asing.

Dalam hal ini, saya sependapat dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Dia adalah salah satu wakil pemerintah yang tegas menolak keputusan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Penolakan Hatta cukup beralasan, jika mengacu kepada spektrum frekuensi merupakan bagian dari sumber daya terbatas yang dikelola negara. Sudah selayaknya kalau spektrum frekuensi itu dikelola sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Selain itu, sesuai aturan, frekuensi tidak bisa dipindahtangankan. Dalam merger Axis-XL, Axis tidak serta merta bisa memindahtangankan spektrum frekuensi kepada pihak manapun. Dari sini saja Tifatul telah melakukan kesalahan besar dengan menyetujui pemindahtanganan spektrum frekuensi Axis ke XL.

Penolakan Hatta ini juga mendapat dukungan dari anggota DPR. Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Sidik menyatakan spektrum frekuensi merupakan hak pakai negara, sehingga tidak bisa seenaknya dipindahtangankan. Dari sisi nasionalisme, merger tersebut bisa menguntungkan XL, sebagai operator yang dimiliki investor asing, yaitu Malyasia. Sebagai negara berdaulat, tentu kita tidak ingin berada di bawah bayang-bayang pengawasan Malaysia. Mengutip pernyataan Mahfudz Sidik, penguasaan asing yang dominan di industri telekomunikasi, membuat operator asing mampu mendikte arah dan perkembangan bisnis, sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk itu saya mendukung rencana DPR untuk memanggil Tifatul, terkait persetujuan yang diberikannya kepada Axis untuk memindahtangankan frekuensinya ke XL.

PKS yang Diuntungkan?

Meskipun mendapat banyak protes, Tifatul sepertinya tidak peduli. Dia terus menyebutkan bahwa dengan adanya merger tersebut, negara diuntungkan sekitar Rp 1 triliun. Kengototan Tifatul ini menimbulkan tanda tanya, ada apa dengannya? Belakangan muncul dugaan, apa yang dilakukan Tifatul tak lepas dari kepentingan PKS, khususnya dalam mobilisasi logistik menjelang Pemilu 2014.

Ada nilai bisnis yang sangat besar di balik merger Axis dan XL tersebut. Sebagai salah satu perusahaan telko terbesar di Indonesia, tak terbantahkan bahaw XL memegang kendali bisnis informasi. Sementara Axis yang dalam beberapa tahun sangat getol berpromosi, mengalami masa-masa sulit, dimana perusahaan itu bangkrut. Sekilas, merger tersebut memang menyelamatkan Axis. Namun, jika benar-benar terjadi merger, XL akan menjadi konsorsium provider terbesar di tanah air, mengalahkan Telkomsel dan Indosat.

Lagi-lagi ini adalah masalah nasionalisme. Sebagai menteri yang harus mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara, sudah seharusnya Tifatul berpikir soal nasionalisme. Bayangkan, jika XL yang merupakan provider telko milik Malaysia, menguasai arus informasi di Indonesia.

Namun kenapa, Tifatul masih saja mati-matian membela merger tersebut? Kembali pada logika bisnis bahwa XL adalah salah satu provider telko dengan bisnis yang sangat besar. Wajar seandainya ada pihak yang mengatakan ada deal-deal tertentu di balik merger tersebut. Deal itulah yang dianggap menguntungkan PKS? Menjelang Pemilu, PKS akan terbantu dari sisi logistik atau pendanaan.

Kita tahu bahwa Pemilu memerlukan cost logistic yang tidak kecil. Sebagai kader PKS, tidak salah jika Tifatul berusaha mencarikan peluang bagi partainya untuk mendapatkan logistik Pemilu. Tapi jika Tifatul benar-benar memanfaatkan merger Axis-Xl itu dalam rangka memobilisasi logistik untuk PKS, dia telah mencampakkan nilai-nilai nasionalisme.(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun