Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ode Penghabisan untuk Satu dan Seluruh Hari Hujan

28 Mei 2011   12:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

- pour tu -
Pada satu hari hujan anak itu mencari lanjutan dari kata alkisah. Tetapi tak ada yang tertulis untuk hari itu. Tak juga di diari, setelah sekian hari. Hanya satu kata alkisah menggantung di layar kristal datar di sisi kursor yang berkedip lirih, sedang tinta di kepalanya tandas mengering.

Ia katupkan layar itu untuk menyambut hujan di halaman, tengadah, mencari efek terbang ke zenith sebab jutaan butir itu datang menentang tatapan matanya dan terhujam-hujam ke arah tanah.

.

Lalu ia pergi ke sebuah jembatan astral yang mengapung di atas kenangannya bersama seorang gadis gipsi berambut ikal yang harum. Jembatan yang berkediaman dalam pikiran. Terlentang sejak barat ke timur, jembatan itu kosong. Gadis itu tak terdengar pernah berada di sana lagi bahkan demi menjenguk kenangannya sendiri. Ia telah memasuki gerbang bintang ke ruang angkasa di mana menunggu satu pemuja, sahabat lama-nya, yang sepanjang zaman pernah berserah-terima mimpi warna-warni dan bertukar cinderamata. Lelaki yang pernah menyelamatkan hidupnya, lelaki yang juga pernah ia selamatkan nyawanya, ujarnya.

Ketika gerbang bintang itu terkatup gadis tadi menghambur ke jagad paralel yang baru sedang gerbang itu sendiri menutup selamanya.

.

Di jagad itu dimensi keempat, waktu, bergulir dengan perilaku amat janggal hingga setahun bumi mungkin hanya cukup bagi mereka bicara sekian patah tembung sederhana; sekejap saja. Tentang rasa bermanja-manja. Atau kesepian urban. Atau tentang seruas jembatan raksasa lain yang membentang sejak utara ke selatan. Saat mereka bicara panjang semalaman tentang detail kangen atau keriangan pasar malam duniawi, windu-windu telah terkelupas gugur dari almanak bumi. Dan bila mereka bersepeda menyusur kanal-kanal temasa, roda musim sudah bergasingan deras menggenapi sekian dasawarsa.

Di bumi basah, di jembatan sepi, sang anak beranjak tua. Ia tak punya siapa-siapa sebagai malaikat penolong.

.

Tiada yang tahu siapa yang meletakkan gerbang bintang pada ruang udara di atas jembatan itu. Barangkali sebuah kehendak yang menginginkan agar sanggama bertahan dalam persembunyian untuk saling meniadakan satu sama lain dalam orgasme penuh rahasia, dalam intrik anonimitas.

Sebuah pintu menandakan keberadaan ruang. Ruang yang membuat kedap dirinya sendiri dari cuaca. Jadi siapapun yang bermukim di ruang itu tak perlu begitu peduli alam luar, atau orang-orang sepele yang mereka tinggal lewat sebentuk pengabaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun