.
Mungkin kamu sudah tahu, hujan selama ini berkelopak-kelopak dan berbicara saat mereka tiba.
Dari sejak titik berangkat, laksaan depa di atas sana, setiap butir dari mereka hanya berdansa sendiri hening-hening. Ia beroleh dinamika dari bayu dan faal sekian waktu sebelumnya. Penggallah waktu, bekukan koreografinya. Jika kamu menghitung pula kekentalan yang barusan menegangkan permukaan butir cair itu, barangkali ada semacam nujum untuk ujud tari-tari berikutnya.
Berjuta-juta kali ia berganti rupa. Beradaptasi melawan hambatan udara. Terbang dalam keunikan masing-masing. Ia menjawab amar gravitasi tanpa suara. Lembam yang diam. Namun pasti. Di bawah sana manusia bermain dadu, menanti-nanti. Nasib adalah deret untuk percakapan basah, air bah maupun musim panen yang dini.
.
Mungkin kamu sudah tahu, manusia ialah makhluk pemetik bunga. Tak ada spesies lain yang sengaja memegat bunga dari tangkainya hanya demi menikmati ilusi. Bahkan serat-serat kuno telah memilihkan dramaturgi bagi momen-momen makrifat, ekstasis nirwana, atau kegemilangan penaklukan dengan frase hujan bunga-bunga.
Tetapi bahkan butir hujan adalah bunga itu sendiri.
Lihatlah, ia menampakkan kelopak saat Bumi menampah tubuhnya. Kadang kelopak itu meruncing tinggi sekejap mata di aspal jalan. Dan lembar-lembar penghabisan itu pun berebahan di sana, saling menyapu. Yang tadi bersendiri kini terangkum satu. Menutupi pucat-pasi kekeringan siang tadi hingga rona jalanan itu pun menua, penuh terseraki kelopak-kelopaknya. Atau, pada sebuah danau, kelopak-kelopak lain moksa dalam pakem sederhana. Tanpa derau berarti, hanya cincin puncak-gelombang: Seroja yang datar saja meski ia dipinjami tenaga untuk tumbuh menyibak ke semua penjuru tepi.
Hujan adalah taburan isyarat: Armada kolosal dari sebuah kehendak yang mendaur ulang sejumlah tak-terhingga temari senyap, sihir konfeti. Sedang kekekalan energi diterjemahkannya sekali lagi menjadi bunyi ricik ritmis menyerupai doa; juga drama optis guguran mahkota bunga, ketika siapa saja yang menyaksikannya boleh merasa teristimewa, merasa ditenggelamkan selebrasi. Karenanya, kita seperti disilakan mengucap selamat kepada diri sendiri.
.
Pada tiap butir hujan tersimpan kefanaanmu, kefanaan kita; serta metafora dansa-dansi tubuh sepimu hingga Hari gugur kelak tiba.
Kini bandul musim tengah berayun. Hujan di Tondok Toraya masih dijadwalkan cuaca. Semoga semua jalan basah yang kamu lalui akan sedamai debu yang reda setelah lelah memantulkan cahaya, dan semoga pula menjauhkanmu dari kenangan mukadimah Kurusetra:
Membuatnya silam meski tak terlupa.
.
- untuk adikku, sang perempuan hujan, R. P. -
***
-gambar-gambar diambil dari dokumen pribadi- ”Kiss the Rain”
Written by Yiruma
Performed by Yiruma
Piano Museum (2004) Universal Distribution Label, South Korea [6820510]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H