Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Himne dari Petrichor

13 Maret 2011   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12999540181249058379

[caption id="attachment_95767" align="aligncenter" width="526" caption=""Father and Son" by Nathalie Chaput"][/caption]

Jika saja ayahnya duduk di sini, alih-alih negeri ke mana kita semua kelak pergi, anak itu akan menjabat tangan ayahnya, mengguncangnya pelan. Menghayati kasih bersahaja itu mengaliri telapak tangan masing-masing.

Anak itu tahu, di lantai jantung ayahnya, berdiam rasa kebanggaan yang tak pernah pupus bagi sang putra; tertanam dalam seperti pokok bertajuk rindang yang menggugurkan daun ke dasar bumi seraya memucukkan kanopi segarnya yang baru. Anak itu yakin beliau akan menghantarkan gelora lewat genggamannya, sementara mata beliau memancarkan kalimat-kalimat manis tanpa diucap, tentang masa-masa mereka berbagi sejarah. Sejak sang putra lahir hingga hari beliau pergi.

Anak itu akan merangkul. Menyerap temperatur tubuh sang ayah: Monumen bekti. Dengan lapis kulit yang terperas tiap saat menjadi sungai peluh. Dan andai diucapkannya ke dekat pipi ayahnya yang terarsir keriput bahwa ia berutang besar atas peluh itu, beliau menjawab dengan permintaan kecil saja agar putranya membayarkannya kepada dunia.

Anak itu akan mengakui dosa, merasa belum pernah berbakti. Mengadukan hati yang tetap menyertakan beban rasa bersalah. Namun beliau tak pernah membiarkan anak lelakinya terus bicara. Telunjuknya akan dilekatkan ke bibir putranya. Telunjuknya sekaligus mengarahkan isyarat ke angkasa.

Barangkali beliau mengajak diam agar langit saja yang bicara. Barangkali beliau ingin menegaskan kesatuan antarmereka berdua dalam khasanah darah:

Untuk tiap pedih yang terlanjur tersampaikan bagi sejarah satu sama lain, ada pemaafan. Untuk tiap langkah menjauh dari sejarah satu sama lain, ada kangen. Dan mereka pernah berikrar untuk menebus segala yang tak terubah itu dengan senantiasa saling mengutus sajak, unduhan mimpi, mistisisme damai yang dibawakan hawa gerimis pagi hari.

.

Jika beliau kini sungguh masih ada, barangkali anaknya meminta sekali lagi untuk diajak menyusuri masa lalu Jakarta. Menyimak lebih seksama uraian tentang berapa tinggi bangunan itu, nama gayanya, materi, dan kapan ia berdiri. Jika saja beliau sempat bertekun kembali di meja gambarnya, anak itu juga akan memohon kepada beliau untuk membuatkan denah masa depan, seperti yang dahulu pernah beliau gariskan, namun sebagian lembarnya melapuk oleh cuaca dan air mata.

Akan ia tanyakan kembali, sebetulnya di spasi mana dalam denah itu ia dan beliau berada. Sekaligus akan ia pertunjukkan sketsa wastu buatan tangannya sendiri, di mana sidik jari beliau berceceran ke semua titik dengan cat warna emas, meski apa pun yang telah terjadi di antara mereka. Rona kilapnya terpulas dan menyebar ke seluruh aras.

.

Semua bertahan jadi angan. Bila dulu ia pernah merangkul, kini beliau terlepas. Mematuhi alam. Tak ada jalan kembali, selepas pergi.

Beliau kini bersemayam di sebuah ceruk bukit rimbun di bawah nisan batu yang menaksir lanskap ke arah Gunung Pancar yang rahayu. Juga menatap utara, berharap wasiat yang selama ini terus-menerus beliau eja bagi putranya kelak terlaksana. Lantas ketika hujan membanjuri bukit itu semua senyawa yang mengendap di humus tanah dan di dasar dada peziarah pun menguar ke udara. Wewangian petrichor memerdekakan dirinya sendiri. Mengisi ruang, menjadikan segalanya seakan bukan hari ini. Wewangian itu seperti gerbang bintang membuka bagi anak itu: menuju jagad masa lampau yang bersembunyi di bilik diri.

Aroma itu mengingatkannya kepada kalimat iman sederhana dari masa kanak-kanaknya yang berkata bahwa hidup memang hanya senda-gurau penuh pesona: Teater repetitif untuk segala yang mengendap lena, terterbangkan dan kembali reda. Pada babak hujan, sang putra tak pernah jemu membayangkan ayahnya berkata membujuk lagi seperti dulu, dalam gaung sinambung:

Selalu hanya Manusia berhasrat merdeka saja yang mampu lepas dari belenggu ketakutan akan luka. Semoga, nak, perjuangkanlah hingga Manusia itu ialah kita.

.

Sentul City, AD MMXI

***

.

Ps; kita akan menang, Teteh. Kita tengah merebut merdeka.

.

.

Catatan:

  • Petrichor adalah wewangian yang mengikuti hujan pertama setelah cuaca panas dan kering berkepanjangan; wewangian berupa saripati minyak yang tersusun dari sekurangnya lima puluh ragam senyawa. Ia terlepas ke udara dari permukaan tanah dan bebatuan oleh perubahan kelembaban dan tekanan udara, dan oleh katalisis gas-gas atmosferik secara tiba-tiba, menjadi aroma kebumi-bumian yang bagi sebagian orang terasa mendamaikan. Dalam mitologi Yunani, petrichor adalah fluida yang mengaliri pembuluh halus para dewata.
  • Wastu adalah istilah yang pernah diusulkan oleh Romo Y. B. Mangunwijaya pada tahun 1982 untuk menggantikan kata "arsitektur". Berhulu dari Sansekerta, vasthu — yang berarti tataruang, tataletak, dan tatasegala-bentuk — menyandang makna lebih meluas dan relevan daripada arkhe-tektoon, sumber etimologis kata "arsitektur" dalam bahasa Yunani yang makna harfiahnya kira-kira sekadar "kekokohan asali".

.

.

-gambar ditautkan ke situs ini-

"We Were So Close"

Written by David Foster Performed by David Foster

Symphony Sessions, 1988

Weasel Dicc [8269948]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun