Ladang Gandum dan Kawanan Gagak, van Gogh (dokumen pribadi)
.
Petunjuk pemakaian: Tulisan ini khusus ditujukan bagi mereka yang berusia di bawah 25
Anda pernah ingin bunuh diri? Saya pernah, dulu sekali waktu duduk di sekolah menengah. Saya pernah ingin menembak kerongkongan saya pakai revolver ilegal milik bapak dengan alasan bosan menemui dunia, yang masih saya anggap melulu brengsek, sebelum akhirnya saya ketahui belakangan ia punya banyak sekali keajaiban.
Dulu sebenarnya saya diselamatkan Aa’ Gym. Waktu laras itu sudah masuk mulut, beliau datang dan bilang, “Hayoo, mau bunuh diri, khan? Betul, tidak? Betul, tidak?” Jarang ada orang tahu persis maksud perbuatan saya, makanya saya kaget. Pun karena doyan dilempari pertanyaan, saya jadi terpancing belagu, sok-sokan akademis, ingin tahu apa itu hakikat tindak bunuh diri sebetulnya. Lantas saya jadi lumayan sibuk cari referensi ke kitab-kitab suci; ke biografi van Gogh sampai UU Lalulintas karena saya pikir peraturan ini melarang keras orang yang suka kebut-kebutan tapi emoh pakai helm agar bisa bunuh diri di jalan raya. Cukup sibuk hingga saya lupa mau cepat-cepat mati, dan malah awet hidup sampai sekarang.
Semua agama kitab punya ayat-ayat yang mengutuki tindak bunuh diri. Tuhan sebagai pemberi hidup saja yang pegang kewenangan mutlak menetapkan kematian, lain tidak. Saya setuju sekali. Maka saya kutuki kalian-kalian, hei, yang mau mati sebelum bayar utang ke saya.
Namun memang selalu ada keindahan ornamental dalam tindakan satu ini. Ada semacam penegasan kedaulatan yang heroik; bahwa dengan sadar orang menerapkan hak memilih sendiri untuk mengakhiri eksistensinya. Dalam Dead Poets Society dilukiskan detik-detik sebelum Neil, salah satu tokoh utama, mencontek bekas calon perbuatan saya yaitu menembak diri. Malam terakhir dalam fragmen sesaat sebelum mati itu amat hening. Angin pelan, memperdengarkan bunyi-bunyian langkah, seperti membahasakan kesadaran yang amat jernih di diri Neil. Ia melepas seluruh pakaiannya dalam gerak lambat, bergeming tegak di jendela yang dibukanya untuk menarik nafas dari udara luar, lalu mengenakan sebentar mahkota Puck-nya buat terakhir kali sebelum menuruni anak tangga. Ia memasuki ruang kerja ayahnya, dan dor, hidupnya selesai.
Mungkin jiwa manusiawi di dalam diri Neil mengatakan makna hidup tak dapat ditemukan ulang setelah yang lama dihancurkan. Hasrat batinnya, yang sejak lahir diperjanjikan bahkan oleh Tuhan sendiri untuk merdeka, telah dipatahkan dan disabotase secara kejam oleh kediktatoran sang ayah. Dan jalan keluar fatal itulah yang lantas diperbuatnya. Ia wujudkan kemerdekaan diri ke dalam laku, seolah mengatakan, “Saya berkuasa penuh, berhak penuh.” Hanya sayangnya Neil tak pernah bisa kembali ke dunia untuk mengenyam hak yang sudah tegas-tegas ia nyatakan.
Saya pikir dua motif manusiawi terbesar pelaku bunuh diri ialah pembalasan rasa sakit dan ketiadaan harapan. Satu-satu maupun sekaligus, atau kombinasi satu melengkapi yang lain. Orang yang memandang nilai hidup tertinggi terletak pada diri kekasih yang disayangi tapi menolak cintanya akan senang hati minum racun tikus. Pemuja keeratan ordo rela mati sama-sama; dan yang mengagungkan keksatriaan dalam pengabdian entah kepada leluhur, klan, bangsa atau agamanya yang diinjak-injak bersedia mengorbankan nyawa. Semua dilakukan dalam keadaan sakit dan tak ada harap.
Tapi bukankah dalam melaksanakan tindakan itu mereka telah menyisipkan setidaknya sedikit harapan, demi munculnya itikad berlaku adil dari diri sang tiran, seperti yang dipikirkan para simpatisan militan IRA? Sukardal, seorang tukang becak yang pada tahun 1986 silam ditemukan menggantung diri di sebuah pohon di Bandung, mungkin saja berharap satu saat Tibum yang sehari sebelumnya merazia dan merampas becaknya, satu-satunya alat pencaharian sang bapak malang, bisa menyesali kebijakan kotapraja yang sama sekali tak bijak itu. Bukankah itu juga bentuk harapan?
Jika Anda bertanya retorik demikian saya kuatir tak bisa jawab disamping tak harus jawab. Mungkin bagi saya sendiri berharap berarti mau mencari makna-makna hidup di luar apa yang telah kita yakini tapi dihilangkan atau direbut paksa dari diri kita. Jika pun saya cuma bisa percaya bahwa mau diapakan juga dunia enggak bakal berubah baik, saya tetap harus berbuat sesuatu, nonetheless, begitu kata almarhum bapak saya. Wojtyla, bapak mulia itu, mewanti-wanti supaya jangan takut berharap di tengah dunia yang kita huni ini, yang memang kebetulan tempat terbaik untuk putus asa. Kian hari bakal makin banyak orang menemukan alasan berputus asa jika cara dunia dan manusia bekerja masih bertahan sama seperti yang lalu-lalu. Jika saya sekularisasikan, ajakan beliau tersebut mungkin berbunyi: Engkau harus teguh. Mungkin engkau memang tak kuasa mengubah dunia namun, selama masih bernyawa, engkau bisa terus mencoba. Itulah martabat dan kehormatan manusia dalam pengertian sederhana Paman Wojtyla. Juga dalam pengertian kawan SMA saya, si JM, yang pernah menangguk 4 juta perak dari sekeping koin senilai goceng.