.
"Selamat malam, Pak Andry. Selamat datang di studio."
"Malam juga, Mbak Shangrila."
"Anda kelihatan cerah sekali malam ini. Seperti kita tahu, Anda barusan saja kalah dalam pemilihan ketua Partai Djengkolat. Tapi tampaknya Anda relaks sekali. Bagaimana sebenarnya sikap Anda menghadapi kekalahan tersebut, Pak?"
"Gondok sih gondok, Mbak. Untung saya pakai make up, makanya ceria begini. Hm, pada dasarnya saya legawa saja. Siapa pun yang terpilih, yakinlah bahwa ia akan berbuat banyak bagi negeri ini."
"Luar biasa. Memang sifat kenegarawanan demikianlah yang diharapkan oleh rakyat."
"Terima kasih, Mbak. Ehem. Ehem."
"Tetapi patut disayangkan juga ya, Pak, mengingat Anda sejak awal terlihat amat percaya diri untuk menang."
"Lho, saya ini menjaga disiplin untuk pede, Mbak. Perkara orang menilai berlebihan, itu urusan mereka."
"Padahal boleh dibilang Anda ini telah mengantungi restu dari pucuk eksekutif kita. Begitu pun dari putra beliau. Eh, kok kalah. Aneh, ya? Saking mustahilnya sampai-sampai ada pihak yang berkelakar kalau kekalahan Anda kali ini adalah imbas kutukan, karena tahun lalu Anda sempat merilis pernyataan bahwa orang Bugis belum saatnya jadi pemimpin negeri ini. Anda menyindir Jusuf Kalla saat itu, orangtua Anda sendiri, ketika beliau mencalonkan diri ke kursi presiden. Kini malah Anda yang kena getok premis tersebut. Apa tanggapan Anda bagi skenario kutukan itu?"