Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ancang-ancang Pascarusuh Pandeglang dan Temanggung

8 Februari 2011   15:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297170634944696290

.

Pertama-tama, mohon pahami melalui sosiologi kerumunan. Pada dasarnya kedua insiden itu bukan konflik keagamaan terbuka, melainkan penganiayaan sangat tak adil, dan ujud kesombongan dari satu pihak ke atas yang lain. Keduanya terjadi dengan proses yang sama seperti ketika seorang tak bersalah akhirnya dikeroyok massa di terminal semata-mata hanya karena sang korban diteriaki copet.

Bayangkan seorang yang memergoki dirinya sedang dicopet. Ia marah dan menghardik si pencopet dengan suara solo yang memang kedengaran, namun tak cukup menggugah orang-orang yang berada di sana. Tak terjadi apa-apa. Tetapi si pencopet tak terima. Dia, yang ternyata tak beraksi sendirian, balas teriak copet! –dan kawan-kawannya menangkap sinyal tersebut. Satu-dua eksponen gerombolan itu mulai mengartikulasikan teriakan copet tadi. Suara mulai ramai, dan mereka mendekati sang korban. Orang-orang di sekeliling mulai ngeh bahwa sesuatu tak beres sedang berlangsung. Mereka membentuk kerumunan. Masih tak terjadi apa-apa.

Hanya ketika satu bedebah dari kerumunan itu melayangkan pukulan pertama, barulah semua orang berpartisipasi hingga pembantaian itu terselenggara.

Bagaimana jika justru takbir yang digemakan lewat mulut-mulut itu? Jawabnya mungkin: Kerumunan itu terlalu lancang dan tolol sampai tak punya banyak kosakata.

.

Sudilah kiranya dimafhumi bahwa kita semua binatang. Mereka yang berbuat onar di Pandeglang dan membakar di Temanggung sesungguhnya hewan-hewan pagan. Kami, Saudara-saudari—kita semua memang cuma binatang-binatang kingdom Animalia yang lapar, birahi dan melata di muka bumi. Memang. Tapi ada yang agaknya berbeda. Kebinatangan mereka telah membunuhi makhluk sesama spesies dan meremukkan batin saudara-saudaranya sendiri lewat penghancuran objek-objek apa pun yang saudaranya cintai. Itu pasti sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan Saudara perbuat di mimpi terburuk sekalipun.

Dan berhubung pada saat bersamaan mereka menyembah banyak tuhan—kesewenang-wenangan, fasisme, ketiadaan-belas-kasih, amuk kerumunan, dan terutama keangkuhan iman serta mungkin 666 sesembahan lain—mereka terpaksa kami anggap binatang pagan.

.

Tolong mengerti ini semua bukan barang baru. Tak ada yang baru seutuhnya dari pola polah mereka. Peristiwa-peristiwa ini cuma kelanjutan dari serial fabel-fabel paling dungu sepanjang rentang sejarah, ketika manusia-manusia yang tak tahu cara paling beradab untuk menghormati diri-kamanungsan masing-masing dengan entengnya memilih laku penghakiman tubuh saudaranya sendiri. Membunuh, demi merasa menang. Cuma mereka saja yang tahu harga diri murahan apa gerangan yang dinikmati dengan membantai insan lain. Sepertinya mereka binatang yang tak mau tahu bahwa insan itu ialah anak dari seorang ibu. Ibu yang kini mereka pecahkan hatinya tandas-tandas.

Anggaplah mereka semua ternak dari ranca yang dimiliki secara turun-temurun oleh kaum yang hadir pula di inkuisisi Abad Tengah, kongregasi Ku Klux Klan, hingga Auschwitz. Bahkan merujuk sejauh-jauhnya hingga masa Abel dan Kain. Same old shit, different day.

Tetapi sapi, kerbau, kuda dan unta lebih acap memberi faedah. Memberikan sandang-pangan serta mobilitas. Sebaliknya insan dengan perikebinatangan ekstrim toh hanya diternakkan, dalam konotasi, oleh pihak yang hidup sebagai parasit peradaban ini tanpa tujuan apa pun selain demi uang picis berikut kapital-politis recehan lewat obral-obral dan pemelintiran seruan agama—yang sejatinya pewarta damai bagi semesta alam. Parasit ini mengisap sisa-sisa sari kehidupan, menempeli rumpun di mana frustrasi terlanjur berkecambah merajalela. Pihak yang tentu saja binatang pula, hanya saja lebih gila lagi ketimbang kita semua. Sapi, kerbau, kuda dan unta pun bahkan merasa dipermalukan kini oleh kemungkaran kolega-kolega Animalia-nya ini.

.

Semoga Saudara menganggap para korban yang berjatuhan itu sebagai martir. Ia yang teraniaya senantiasa lebih mulia derajatnya daripada para algojo-inkuisitor. Seorang martir tak akan pernah jadi senista yang algojo maui. Pun jika mereka yakin mampu menistakan makhluk dengan kadar lebih sengit daripada kuasaNya mengangkat kemuliaan pihak teraniaya, maka di sana telah ada penegasan dengan sendirinya atas asumsi awal bahwa mereka merasa mahakuasa. Pantas saja mereka menasbihkan egonya sendiri sebagai sesembahan.

Jangan pernah pikir nyawa yang direnggut paksa itu tak akan mengadu dan menuntut balas kepada Pencipta-nya, Saudara-saudari.

Para korban ialah sekuel martir dalam perjalanan panjang dunia gila ini menuju kewarasannya. Mereka tak akan mati sia-sia. Gereja-gereja tak akan hangus dengan konyol. Seluruhnya sedang mencetuskan kearifan laten pada kesadaran manusia untuk mawas diri menghadapi ancaman wabah fasisme dalam rupa apa saja, terutama agama. Rangkaian peristiwa ini telah tercatat dalam buku laporan yang akan dipertanggungjawabkan ke hadirat umat manusia sepanjang zaman. Suatu hari nanti anak-anak kita pasti bisa belajar menghentikan kebodohan bapak-bapaknya dan menciptakan bumi yang makin ramah warna.

.

Andai berkenan, yakinlah bahwa hukum akan tegak dan bangsa ini tak akan pecah. Di masa krisis, piranti survival utama adalah benak dan jantung yang temperaturnya terjaga. Klise. Tapi jitu dan banyak manfaatnya. Pemaafan dan rekonsiliasi barangkali menjadi tindakan terakhir yang terpikir dalam situasi seperti ini. Namun selain itu, sembari menanti penegakan hukum yang tegas kepada para pelaku, memangnya kita mau berbuat apa?

Kebencian berbiak lebih cepat dari tikus got. Sekali kita sulutkan kepada orang lain, lalu ia menyulut sekelilingnya, tak butuh waktu lama hingga kebencian itu membakari dada semua orang. Tak ada yang menginginkan kerusuhan terjadi sporadis di negeri ini demi kebencian membuta. Jangan sampai. Itu teramat memalukan.

Betapa sangat berharganya sumbangsih Saudara-saudari yang menyalakan lilin damai di ruang-ruang privat, kepada sanak saudara terdekat. Ajak mereka meredakan amarah. Berkabunglah dengan sanubari yang tak terprovokasi. Sebisa mungkin jauhi penglihatan dari gambar-gambar kekerasan berdarah dan berapi karena seluruhnya, sejujur apa pun gambar-gambar itu, adalah tontonan memuakkan dan berkinerja lebih berbahaya dari sekadar pornografi.

Para pelaku kekerasan adalah puak yang agaknya memang right or wrong my ass. Mereka tak akan paham ”CMIIW”. Tipikal monster-monster primitif yang kebetulan saja berpakaian agama. Mungkin terpikir oleh bawah sadar mereka, butuh kerja keras susah-payah untuk menjadi manusia paripurna sedang untuk menjadi terkemuka dalam balutan iman mereka hanya perlu menghunus pentung dan golok. Dan egois sekali: Menghumbalangkan rasa sakit dan sedih keneraka-nerakaan kepada sesamanya demi ekspektasi surga pribadi. Bahkan setan saja kerap menggoda manusia dengan kenikmatan, Saudara-saudari. Mereka itu apa?

Bangun klasifikasi tegas: Kita bukan mereka. Kita bukan orang yang akan membunuh mereka seperti mereka membunuh saudaranya sendiri. Tak ada perpecahan baku bunuh di tubuh bangsa ini jika demikian. Dan tak pula ada yang perlu ikut-ikutan bunuh diri macam mereka. Ya, mereka telah dengan sengaja membunuh kemanusiaan penghabisan yang tertinggal di diri mereka. Tampaknya hidup, tetapi sesungguhnya, sebagai Manusia, mereka sudah mati.

Bila memang terbit angkara murka di dada Saudara kini, pertanyakan segera: Memang siapa gerangan mereka sampai bisa-bisanya bikin kita bermakmum dan menjadi pembenci berikutnya atas kepengecutan yang mereka buat. Lantas kenanglah sebaris doa terdahsyat yang pernah memulihkan segalanya, namun terlalu sering terlupakan:

Ampuni mereka, Gusti, sebab mereka tak tahu apa yang mereka lakukan.

.

***

. . . -gambar diambil dari sini-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun