Ada satu masa nostalgik ketika ayunan taman sanggup menerbang-nerbangkan sukmamu. Dengan gerak yang hanya sebersahaja tekukan kaki saat ia melempar mundur, lalu tungkai yang dijuntai lurus saat mengayun ke muka, maka di kamusmu terbang telah mengutuhkan lema. Lalu ibumu datang memanggil dengan bujukan makan siang.
Hari-hari begitu berwarna seperti krayon dan kuas. Pada petangnya kausisipi buku gambar dengan ayunan yang kaumainkan tadi dengan rona serupa. Pun dengan matahari. Sulit untuk mencari lembar di mana tak kaububuhkan senyum bagi citra matahari. Bersama ibu yang memanggil makan malam, sukacita seperti tak perlu kausa. Ia merumuskan diri sendiri.
Tiba-tiba hari ini tiba begitu saja. Tahun-tahun terpintal mampat di belakang sana. Perih, belasungkawa, ketercerabutan.
Jika memang hari ini montase luka, drama pepat, maka kenanglah satu masa itu. Bawalah putrimu ke satu taman di mana ia bebas mengayun. Lalu pinjam darinya paras sukacita. Bersama kibaran rambutnya yang menyibak haluan dan buritan, barangkali di sana ada rindu yang berbangkit kepada kurun ketika bagimu pasang dan surut hanya seloroh kelembaman.
Barangkali ada semacam iman. Bahwa meski apa pun terjadi, dalam langsir arah, kau tetap mampu merasa terbang.
***
Gambar diambil dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H