Embun mengental. Serupa awan. Putih di antara hijau kebun teh dan pegunungan. Menyulap pemandangan di sekitar Naya seperti negeri di atas awan. Dalam dingin yang gigil, untuk kesekian kalinya Naya tersihir. Pesona. Kota itu memang masih memiliki pesona yang sama. Indah. Magis. Mesra. Seperti berbulan lalu saat pertama kali Naya menapakinya.
Namun di antara sihir pesona itu, seketika muncul perasaan yang mengganjal. Rindu yang kental. Lalu dingin angin merasuk ke dalam jiwanya. Mewujud pedih yang lirih. Mengapa kenangan yang indah bisa berubah menjadi sesuatu yang mengiris? Tanya Naya pada diri sendiri. Pertanyaan yang sama. Entah untuk keberapa kali.
Jika kota ini, negeri di atas awan ini hanya menyembunyikan perih di balik pesona yang memikat, lalu mengapa Naya selalu merindukan untuk menatapnya, lagi dan lagi? Seolah menjadi pecandu kesedihan. Ah, apalagi yang lebih misteri bagi manusia selain hatinya sendiri?
“Lihatlah Naya, bukankah ini seperti negeri di atas awan?” Naya seolah mendengar suara itu lagi. Suara Raka. Apakah rindu yang menggila bisa mengubah seseorang menjadi gila? Mendengar apa yang sebenarnya tak ada?
Lalu ia seperti melihat Raka ada di dekatnya. Kenangan memang terkadang seperti film lama. Yang memutar sendiri tanpa dipinta. Naya melihat Raka duduk di atas bebatuan besar di tepigunung menghijau berbalut embun yang mengawan. Melihat Raka menyulut api pada ujung rokoknya. Dan ketika melihat asapnya keluar dari mulut dan hidung Raka, Naya memejamkan mata. Kenangan terkadang seperti mimpi menyakitkan yang harus dihentikan dengan satu sentakan.
Naya merasakan matanya basah. Ah, mengapa embun begitu lancang bermain di kelopak matanya, umpatnya dalam hati. Berusaha mengecoh diri sendiri bahwa tak ada yang perlu ditangisi. Walaupun tak akan pernah berhasil manusia menipu kerindukan pun juga kesedihan. Apalagi yang bisa dilakukan selain mencoba?
Putaran kenangan itu memang enggan berhenti. Naya seolah berada pada masa lalu. Menyaksikan kembali masa-masa ketika ia dan Raka pada suatu sore, di sebuah kota, negeri di atas awan. Kota itu, negeri di atas awan itu adalah salah satu kota favorit Raka.Lelaki yang mengagumi pegunungan. Bagi Raka pegunungan menyimpan keindahan yang misteri. Menenangkan dari segala hal yang menghujam pikirannya, jiwanya. Membuatnya bisa tenang, walau hanya sebentar saja.
“Nanti setelah lama meninggalkan pulau ini, setelah lama tak melihat hijau. Aku akan kembali ke sini. Tak terbayang seberapa hebat pesona negeri di atas awan ini setelah aku terbiasa hanya terpapar pemandangan kota yang sesak dengan bangunan dan mesin,” Naya mengingat apa yang pernah Raka katakan.
Apakah benar Raka akan kembali? Suatu saat? Ke kota mereka pernah menghabiskan waktu bersama. Atau kembali ke kota yang mereka tinggali bersama? Namun, ada keyakinan yang selalu Naya ingin pungkiri, bahwa apa yang telah menjadi kenangan, tak akan pernah bisa terulang dengan sama. Akan ada yang berubah. Waktu dan jarak memang tak pernah mau mengalah. Tak peduli berapa hebat kau berjuang menaklukkannya.
Mungkin Raka memang akan sebenar-benar pulang kembali dari rantau. Mungkin akan pulang untuk satu kunjungan singkat. Atau memang tak akan pernah lagi kembali bahkan untuk sebentar saja. Atau memang mereka tak akan dipertemukan lagi? Ah, siapa yang bisa menebak masa depan yang terlalu misteri.
Apapun itu, Naya sudah sejak awal mempersiapkan diri. Bahwa seberapa berharga sesuatu. Manusia tetap tak punya kendali. Dan tak ada manusia yang memiliki manusia lain. Bahkan bukankah diri sendiri bukankah milik diri sendiri? Manusia memang selalu ditakdirkan lupa. Menuntut, menentang, memaksa apa yang jelas-jelas tak akan pernah bisa. Dan Raka mungkin memang ditakdirkan hanya sebatas kenangan dan kerinduan yang menyiksa.
“Ah, mengapa seseorang dalam waktu yang singkat bisa berubah menjadi sesuatu yang amat berharga?” umpat Naya dalam hati. Pertanyaan yang sama, entah muncul untuk keberapa kali. Mungkin memang terlalu banyak misteri bagi manusia tentang dirinya sendiri. Tentang rasa. Mungkinkah kesamaan jiwa? Kesamaan konsep diri? yang mendekatkan secara psikologi? Entahlah.
Naya melanjutkan perjalanan. Memacu sepeda motornya menembus hawa dingin kota itu. Roda motornya memacu perlahan. Seperti hari itu, saat ia dan Raka datang bertandang. Saat itu, roda sepeda motor Raka memacu perlahan. Sepanjang perjalanan, Naya bisa mencium aroma rambut Raka yang tertiup angin. Aroma yang sudah sangat akrab. Segar dan nyaman. Aroma yang masih begitu lekat pada ingatannya. Terkadang tercium tanpa diduga, berhembus entah dari mana. Seperti saat ini. Ya, saat ini. Naya mencium Aroma itu lagi. Aroma rambut Raka. Tercium di antara angin kala ia memacu perlahan motornya sendirian. Membuat napasnya menjadi sesak. Tersumbat kerinduan, kesedihan yang membuncah mewujud getar di dada dan hangatnya air mata. Apakah kesedihan yang menggila bisa mengubah seseorang menjadi gila. Mencium aroma yang sebenarnya tak ada?
Naya, mungkin juga seperti kebanyakan manusia lainnya. Telah menghidupkan seseorang yang berharga melalui kenangan. Yang tak akan pernah mati atau pergi kecuali ketika diputuskan untuk diakhiri. Jika seseorang tak bisa ada di sisi, apakah ada yang salah dengan menghadirkannya melalui imaji?
Dan Naya merasakan dirinya hidup dalam dongeng negeri di atas awan…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H