[caption id="attachment_246318" align="aligncenter" width="300" caption="Gedung Nasional Medan dilihat dari depan"][/caption]
Kepala PUSSIS Unimed Dr Ichwan Azhari mengirimi saya pesan singkat. “Sudah beberapa hari ini saya tak dapat tidur. Saya galau”. Apa pasal? Gedung eks percetakan Sjarikat Tapanoeli yang konon sangat penting maknanya sebagai wadah perjuangan kemerdekaan telah dirubuhkan. “Kini sudah rata dengan tanah. Di sanalah, di percetakan itu, untuk pertamakalinya dicetak kata “merdeka” dalam bentuk penerbitan pers. Di sanalah, kemudian, sejumlah koran berhaluan perjuangan dicetak”. Saya terkesima membaca pesan Dr Ichwan Azhari.
Lalu, “Anda tahu Gedung Nasional Medan (GNM)?” Itu pertanyaan dari ahli sejarah ini kemudian. Tentulah saya tahu. Saya pernah menjadi Sekum Dewan Pengurus Angkatan 66 (DPA 66), dengan Ketum Rektor ITM Syahrum Razali, menggantikan almahum Dr H Zakaria Siregar, Sp.Ak. Pusat kegiatan kami di sana, meski ada kantor lain, sebuah gedung milik PTP di Jalan Multatuli No 2 Medan.
Kalau saya tak salah, sekitar tahun 2004 yang lalu santer berita akan dibisniskannya GNM hingga menghilangkan nilai kesejarahannya. Lahan GNM itu strategis dan luas. Siapa yang berada di belakangnya? Tentulah pelaku perekonomian dan para agen (unsur pemerintah maupun di luarnya). Ini mirip perubuhan sejumlah mesjid di kota ini. Tetapi, dipimpin oleh almarhum Dr H Zakaria Siregar, DPA 66 menolak keras sehingga pihak yang berniat buruk akhirnya mundur.
“Kalau bukan kita, gerangan bangsa mana yang sudi menghargai sejarah kita?”, tegas Dr H Zakaria Siregar, Sp.AK, suatu ketika di sela “gerilya” menolak kolaborasi corpoate-pemerintah yang berniat meruntuhkan GNM. Almarhum M.Sa’at Gurning secara pribadi dan dengan begitu emosional menantang bertarung dengan siapa saja yang berniat meruntuhkan gedung bersejarah itu. Saya yang selalu ditunjuk untuk merumuskan hasil diskusi dan rapat untuk menjadi notulen atau untuk menjadi surat resmi yang akan dilayangkan ke berbagai pihak.
Abdillah (2005) setelah terpilih kembali menjadi Walikota Medan untuk periode kedua berjanji kepada DPA 66 yang berdelegasi ke kantornya: “selama Dillah Walikota, abang-abang yakinlah gedung itu akan kita pelihara sebagai warisan sejarah perjuangan kemerdekaan kita. Dillah alokasikan biaya perawatan secara rutin”. Bukan hanya itu yang dijanjikan sebagai tanggungjawab kepada sejarah Angkatan 66. Tugu Juang di persimpangan Jln Kretaapi/HM Yamin juga dirawatnya sebagai bagian upaya pendidikan heroisme bagi generasi muda. Kemudian pihaknyapun mengalokasikan biaya renovasi GNM. Gubsu T Rizal Nurdin menyanggupi bantuan lebih besar. Setelah itu GNM dibuka kembali dan DPA 66 berkantor di sana.
Salah satu bentuk penandaan pembukaan kembali GNM ialah Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan dipimpin langsung Gubsu T Rizal Nurdin. Setelah itu berulangkali dilakukan kegiatan, seperti dialog tentang Bulog Gate yang dihadiri Bachtiar Chamsjah, waktu itu Ketua Pansus Bulog Gate DPR-RI yang menjadi salah satu faktor lengsernya Gus Dur. Itu yang menyebabkan orang seperti Dharma Indra Siregar hingga kini bersikukuh mengatakan saham DPA 66 Sumut sangat besar menjadikan Bachtiar Chamsjah menjadi Menteri Sosial RI. Lebih ekstrim lagi ia bilang kepada saya “Kaulah yang membuat dia jadi Mensos”.
Chairuman Harahap sewaktu menjadi Kejatisu juga pernah berceramah di sana. Karena sudah cukup nyaman, bahkan acara pesta perkawinan pun lazim diselenggarakan di sana. Dari berbagai forum yang diselenggarakan DPA 66, saya dan Nirwansyah Panjaitan telah menghasilkan sebuah proceeding berjudul “Thesis, Anti Thesis dan Sinthesis”. Itu soal pergulatan ideologi yang terjadi dan menyangkut jatidiri Angkatan 66. Dari gedung ini pula tanggal 5 Mei 2010 saya bersama para senior angkatan 66 merumuskan sebuah pokok pikiran tentang Indonesia masa transisi yang kami namai “Memorandum Politik Angkatan 66”. Dokumen itu kami sampaikan kepada Presiden RI, Ketua MPR RI, Ketua DPD RI, Ketua DPR-RI, Ketua KPK, Kapolri, Panglima TNI, Menkopolhukam, Ketua MK, Gubsu, Pangdam I/BB, Kapoldasu, dan lain-lain.
Ridwan Matondang pernah serius mengajukan rencana pendirian Sekolah Tinggi di sana. Kalau bukan Sekolah Tinggi Ekonomi, ya Sekolah Tinggi Hukum, Jurnalistik, atau Politik. Itu usaha agar tak ada yang kelak berniat lagi meruntuhkan untuk kepentingan bisnis. Sekarang ancaman baru telah tiba. Pergilah ke sana (Jln Sutomo/Veteran Medan). Sekelilingnya sudah dipagar sebagaimana lazimnya sebuah lokasi yang akan dibangun.
Pihak Yayasan, sebagaimana dulu pernah merasa punya hak memperlakukan GNM sesuai seleranya, meskipun itu akan meruntuhkan nilai sejarah, tentu harus dilarang. Perubahan dalam bentuk kepemilikan yang apalagi perubuhan gedung bersejarah itu, tidak boleh. Mungkin saja ada niatan komersial seperti dulu. Itu harus ditolak. Jika ada yang lupa, saya ingatkan bahwa GNM dibangun dengan uang rakyat. Membentuk Yayasan untuk mengurusnya tak bermakna memberi kewenangan memperlakukan seperti milik pribadi. Sadari itu. Berhadapanlah dengan rakyat Sumut yang menghimpun recehan untuk itu dulu. Berhadapanlah dengan warga Sumut yang darah putera-puteri terbaiknya dulu pernah berceceran di sana. Demi mempertahankan kemerdekaan.
Setelah ini, kira-kira bangunan mana lagi yang akan diruntuhkan? Sebuah Memorandum Politik dari Angkatan 66 sudah layak muncul kembali untuk mengingatkan bahwa uang bukan segalanya, kawan.
[caption id="attachment_246320" align="aligncenter" width="300" caption="Posisi Gedung Nasional Medan dalam peta"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H