Mohon tunggu...
Shohibul Anshor Siregar
Shohibul Anshor Siregar Mohon Tunggu... -

Koordinator Umum 'nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya), tinggal di Medan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Koruptor di Pundi Negara

23 April 2014   17:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketua BPK dinyatakan tersangka oleh KPK atas tuduhan berusia lama semasa beliau masih menjadi Dirjen Pajak. Telusuran model apa ini? Targetnya ke mana? Akan ada gebrakan besar untuk menyelamatkan Indonesia dari korupsi? Kita tunggu sajalah KPK.

Negara mengutip uang hasil keringat rakyat melalui pajak, dan jika pajak diselewengkan itu tak ubahnya pagar makan tanaman. Itulah fakta terungkap di Indonesia akhir-akhir ini. Sebetulnya penyelewengan-penyelewengan di tubuh institusi yang diamanahkan memungut pajak itu ditengarai sudah lama berlangsung, dan apa yang terbuka ke publik akhir-akhir ini hanyalah ibarat sebuah puncak gunung es belaka. Itu barulah permulaan dari sebuah cerita panjang.

Bandingkanlah misalnya dengan penjelasan yang pernah diberikan oleh Ketua Komite Pengawasan Perpajakan (KPP) Anwar Suprijadi yang mengatakan bahwa setidaknya ada 12 titik rawan penyelewengan keuangan negara (yang terdapat di perpajakan) yakni Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dari 12 titik rawan itu 10  ada di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Sebelumnya juga pernah ada pengakuan Dirjen Pajak Mochammad Tjiptardjo bahwa institusinya memang rawan terhadap penyelewengan.  Ia mengidentifikasi 4 bidang unit kerja yang posisinya selalu bersinggungan dengan kerawanan itu, yakni bidang pemeriksaan, account representative, juru sita, dan penelaah keberatan. Untuk semua bidang itu total aparat yang dipekerjakan mencapai sekitar 15 ribu orang. Bayangkan jika orang sebanyak itu korupsi berjamaah melalui sumber pendapatan negara.  Anehnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri mengakui ketidak-memungkinan mengawasi satu per satu secara intens.

Jika hal itu dibiarkan saja berlarut, pastilah amat berpengaruh terhadap kerelaan masyarakat untuk menunaikan kewajiban membayar pajak kepada negara. Apabila sikap itu meluas dalam bentuk perlawanan publik, tentu amat tak terbayangkan resikonya. Negara tanpa pajak, bagaimana jadinya?

Tetapi tampaknya tidak ada sesuatu kemajuan yang berarti yang mungkin dicapai dalam masa singkat.  Katakanlah reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan berlangsung terus, namun salah satu aspek penting, yakni penindakan dan penegakan hukum (dalam bidang perpajakan) tampak demikian lemah. Inilah agaknya yang tempohari mendorong Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) menganggapnya menjadi salah satu sorotan penting. Tapi kita sudah tahu kinerja Satgas itu, bukan? Salah satu fakta temuan yang menggambarkan rumitnya permasalahan pernah tercermin dari ungkapan salah seorang anggota Satgas,  Mas Achmad Santosa, dalam sebuah diskusi di Jakarta sekitar bulan Maret 2010 lalu kalau tak salah. Antara lain ia mengatakan  “Undang-Undangnya abu-abu. KY (Komisi Yudisial) bimbang apa bisa masuk ke situ (pengadilan pajak)”.

Wewenang Mahkamah Agung (MA) sendiri, menurutnya,  sulit “menyeberang” menangani pengadilan pajak, kecuali untuk tingkat akhir, yakni dengan keadaan tertentu  bisa PK (Peninjauan Kembali) ke MA. Ia baru sadar bahwa ternyata MA hanya mengawasi empat pengadilan, yakni Pengadilan Negeri, Agama, Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara.  Fakta lain ialah hakim-hakim di pengadilan pajak bukan hakim karir dari MA, tapi pensiunan pegawai pajak sendiri. Gawat.

Oleh karena itulah rentetan kejadian yang terungkap bukan saja mengindikasikan kolusi antar kelembagaan, dan apa yang sudah begitu luas terungkap itu hanyalah sebagian dari cerita permukaan. Maka wajarlah jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menginstruksikan  agar  segala bentuk kejahatan dan penyimpangan dihentikan. “Hentikan segala bentuk kejahatan dan penyimpangan,” kata Presiden suatu ketika, saat memberikan pengarahan kepada jajaran Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai di Istana Negara.

Presiden SBY pada kesempatan yang sama juga memberi instruksi untuk terus melakukan reformasi dan meningkatkan capaian. Diketahui di bawah kepemimpinan sebelumnya lembaga yang berada di bawah Kementerian Keuangan ini telah melakukan serangkaian pembaruan (reformasi) dengan biaya yang amat mahal. Berbagai pihak hingga kini secara kritis mempertanyakan hasil dari investasi besar tersebut. Menteri Keuangan akhirnya diperintahkan untuk mendukung penuh dan memfasilitasi  upaya  meningkatkan kinerja jajaran Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai sembari memberikan pengawasan yang efektif.

Pernah diberitakan bahwa 100 perusahaan termasuk BUMN menunggak pajak mencapai 17 trilun rupiahTotal per Maret 2010 mencapai 50,5 triliun rupiah dan itu sudah berkurang dibanding awal tahun. Bagaimana ini bisa terjadi?

Seakan mengakui secara jujur kebobrokan yang mengakibatkan resistensi sosial yang berkembang terhadap pola penyimpangan pemungutan pajak dan segenap permasalahannya saat ini, Presiden  berjanji melakukan pemantauan. sembari menegaskan kepada Menteri “ini kontrak kerja saya dengan saudara, pakta integritas saya dengan saudara”.

Tapi, apa makna pakta integritas itu gerangan?

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun