Mohon tunggu...
Shohibul Anshor Siregar
Shohibul Anshor Siregar Mohon Tunggu... -

Koordinator Umum 'nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya), tinggal di Medan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Korupsi dan Kemahatahuan Tuhan

2 Juni 2013   18:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:38 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika sebagian orang secara teguh berpendapat begini: "jika uang ada di tangan orang-orang jahat, maka akan mereka gunakan uang itu untuk melipat-gandakan kejahatan. Lebih baiklah kita saja yang memakai uang itu. Kita kan orang baik-baik? Korupsi? Ketimbang mereka yang berkorupsi? Tuhan maha tahu bahwa dalam niat kita berkorupsi itu adalah untuk kebajikan. Bagaimana? Mohon pencerahan”.

Kalimat itu telah saya cantumkan pada dinding akun facebook saya sejak Kamis pagi (21/03/2013). Saya beri judul “Korupsi dan Kemahatahuan Tuhan”.

Saya tidak menerima banyak komentar, kecuali sekadar memberi tanda “like” saja. Tetapi beberapa orang secara bertubi-tubi telah meminta saya berdiskusi melalui inbox. Ada sebagian dari mereka yang dapat saya layani. Tetapi orang dengan nada emosional dan tak ingin berbagi pendapat, tidak saya layani dan akhirnya memang memaki-maki saya.

Kesaksian Syed Husin Alatas

Pada awal-awal Orde Baru Syed Husin Alatas (seorang ahli sosiologi korupsi dari Singapura) adalah orang yang termasuk banyak memberikan pendapat tentang ketersanderaan Indonesia dalam kasus rumit ini (korupsi). Jika antropolog dari UI Koentjaraningrat pernah berpendapat bahwa korupsi itu bagian dari budaya, maka Syed Husin Alatas lebih banyak mengurai contoh-contoh empiris temuannya di lapangan. Ia sangat mengkhawatirkan Indonesia yang pada satu ketika pastilah akan benar-benar collaps dengan budaya korupsinya itu.

Bayangkanlah, kata Syed Husin Alatas, seusai “berjuang” hebat mengeluarkan kenderaan dari sebuah lahan perparkiran yang dipenuhi banyak kenderaan yang tak beraturan, tiba-tiba Anda dikejar oleh juru parkir yang merasa wajib menuntut haknya. Anda pun memberinya sejumlah uang. Terkadang ia pun seakan merasa tak pantas berucap terimakasih kepada Anda (malah kerap memaki). Anda pun sudah terbiasa dengan kondisi itu, dan malah tak merasa perlu meminta tanda terima uang parkir dari petugas berseragam itu.

Pada pengalaman lain Anda mungkin pernah bertemu dengan petugas serupa (juru parkir) yang mengejar Anda saat kenderaan Anda mulai berjalan. Anda bertengkar karena merasa tak wajib memberi uang parkir berhubung Anda hanya salah berhenti di salah satu sisi jalan yang mestinya tujuan Anda bukan pada alamat itu. Bahkan mesin kenderaan Anda pun masih belum dimatikan.

Lebih parah lagi jika Anda kehilangan sebagian perlengkapan kenderaan Anda (kaca spion, misalnya), atau malah kehilangan barang milik Anda yang ada di dalam kenderaan yang terkunci, atau malah kehilangan kenderaannya sekaligus. Indonesia tidak menganggap Anda sebagai warga Negara yang perlu mendapat perlindungan. Anda mau pergi kemana mengadukan masalah Anda, semua pintu tertutup untuk Anda.

Metafora dan Apologi Baru

Produk budaya tidak pernah berhenti secara kualitatif dan kuantitatif. Tanpa ada yang menghentikan, korupsi sebagai budaya (Koentjaraningrat) akan semakin merajalela tak sekadar apa yang dilukiskan oleh Syed Husin Alatas untuk kasus juru parkir.

Dalam pemberitaan media Anda telah kerap mendapatkan istilah baru seperti “korupsi berjama’ah”. Metafora yang mungkin belum pernah Anda dengar adalah “korupsi Lillahi Ta’ala”. Bagaimana mungkin? Itulah yang dibantah oleh seorang pemberi komentar terhadap status yang saya buat pada akun facebook saya Kamis pagi. Ia bilang begini : ”Kini teramat banyak orang yang ingin mengatur Tuhan dengan mengatas-namakan kebaikan. Lalu mereka menggunakan simbol-simbol agama bahkan menggunakan institusi moderen seperti partai agama. Namun partai yang dibuat hanya untuk memperbesar hasil rampokan dan jarahan. Kalau dikampung kami seorang penjahat hanya mampu mencuri beberapa ekor sapi misalnya, maka kalau pakai partai mencurinya bisa menjadi ribuan dan jutaan ekor sapi. Lalu siapa yang bisa menggaransi dirinya sebagai manusia yang baik lalu melakukan kejahatan untuk sebuah kebaikan? Kejahatan tetaplah kejahatan. Kejahatan selalu melukai orang lain

Metamorfosis korupsi tidak saja ditandai oleh metafora-metafora baru, semisal korupsi berjama’ah itu. Anda pun tahu institusionalisasinya yang semakin kuat. Industri korupsi tak cuma menampakkan kedigdayaannya pada proses legislasi di lembaga tinggi Negara (di pusat dan di daerah). Dengan itu legitimasi kejahatan dikukuhkan, atas nama dan untuk bangsa (entah bangsa mana ya?). Juga pada institusi-institusi terpenting dalam bernegara (dan berdemokrasi), semisal partai politik.

Jangan Atur Tuhanmu

Ketika saya sedang berfikir “Saya kira pun tidak mungkinlah Tuhan harus dipersepsikan begitu rendah. Kecuali sudah ada yang mensub-ordinasikan Tuhan itu sebagai “anak buahnya”. Tuhan itu tidak mungkin diberi aturan untuk melegitimasi kejahatan kita”, maka muncul satu komentar baru. Bunyinya demikian:

“Semoga kita tidak termasuk orang yang suka mengambil hak orang lain sekalipun untuk kebajikan. Tetapi iya juga ya, kenapa tidak kalau untuk kebajikan? Yah pendapat saya jangan. Nanti Tuhan pasti memberi jalan buat kita bila niat kita lurus untuk kebajikan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun