Itulah nama perempuan tua itu. Supir angkot masih sempat menanyakan "apakah ibu tidak kesasar minta diturunkan di sekitar kompleks perumahan mewah ini?" Ibu Sugih menjawab "tidak". Supir angkot bertanya lagi: “Ibu pembantu rumah tangga di kompleks perumahan mewah itu?”. “Tidak”, jawab ibu Sugih lagi.
“Sudah, bu. Sampai di sini saja. Tidak usah masuk ke dalam. Ibu tidak ada urusan di sini, ya sudah sampai di sini saja. Nanti saya kena marah”, tegas petugas security (Satpam) yang bertugas siang itu.
Sembari mengucurkan air mata, ibu Sugih pun menuturkan, bahwa belasan tahun lalu ia dan puluhan rumah tangga lainnya telah diusir dari sini dan hanya dipaksa menerima uang ganti rugi yang tidak adil. Dia berusaha mengingat untuk kemudian menunjuk dari luat pagar tembok: di situlah rumah kami dulu.
Suaminya, Sugiharto Joyokertojoyo meninggal di rumah itu. Itu pulalah alasannya setiap tanggal 27 Ramadhan (siang) ia merasa wajib datang ke sini, seakan menyapa suami tercintanya yang telah tiada.
"Aku orang kalah pak”, katanya lirih. “Aku tak mampu memertahankan rumahmu sendirian, pak. Mereka banyak. Preman, pengusaha dan aparat. Maafkan aku ya pak".
Tadi pagi ketika Suryo Gemilang dan Lilik Lirboyo (petugas amil zakat dari masjid Al-Makmur) mendatangi gubuknya, ibu Sugih memohon agar jatah zakat fitrah untuknya kali ini dikonversi dengan uang saja. Uang itulah yang dipergunakannya sebagai ongkos untuk perjalanan hari ini.
Ziarah itu berlangsung setengah jam. Ibu Sugih pun pulang, ke sebuah desa di pedalaman Kabupaten Deliserdang. Ibu Sugih telah memperkuat data “kemenangan” pemerintah atas rakyatnya yang tak berdaya itu atas nama pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H