I. Eksistensi fisiknya memang hanya berupa sehelai kain yang disampirkan di kepala wanita, namun keberadaannya bisa dimaknai begitu rupa. Dia bisa menjadi label keterikatan terhadap beberapa aksi ekstrim yang menebar horor, bisa merepresentasikan bentuk penindasan sekaligus pembebasan terhadap kaum hawa. Di beberapa negara, pemakaiannya masih memerlukan ijin dan perdebatan. Sementara pada lingkaran kehidupan yang menyajikan dua varian ‘memakai’ dan ‘tidak memakai’, banyak yang memaknainya sebagai simbol keinsyafan yang memerlukan kesanggupan sehingga karenabelum siap maka akan dilakukan pada suatu saat nanti. Saya menemukan ‘nanti’ pada penghujung tahun kemarin, setelah melakukan pencarian yang menjadi pembenaran untuk menjalani penundaan yang cukup panjang. Semenjak menemukan kewajiban menutup aurat di awal remaja, wacana terkait yang hadir selalu berupa ‘wajib, dosa, lalu neraka’. Mengancam, namun dengan optimisme umur panjang juga bisa ditangguhkan untuk dilakukan di masa depan. Walau memang siapa tahu kapan maut menjemput, namun default setting kehidupan yang dipercaya adalah lahir, tumbuh, sekolah, kuliah, kerja, nikah, punya anak, tua, lalu mati. Sehingga semenjak penemuan kewajiban itu terbentuk berbagai macam alasan untuk menunda. Alasan pertama adalah ‘mempersiapkan diri terlebih dahulu’ yang begitu klasik –sekaligus wajar, karena saya kita berada dalam masyarakat yang yang menyuarakan ‘merokok’ dan ‘malu sama jilbab’ dalam satu kalimat. Menyampirkan sehelai kain di kepala terasa sebagai sebuah prosesi yang sangat sakral untuk dilakukan. Namun toh semua itu menjadi tak berarti dengan kenyataan sederhana bahwa kualifikasi yang diperlukan untuk memakainya hanyalah dengan menjadi perempuan, lalu menjadi sebuah kewajiban ketika perempuan tersebut seorang muslim dan dewasa. Maka muncullah alasan selanjutnya lewat premis bahwa penampilan itu tidak lebih penting dibanding tingkah laku, atau bahasa klise nya, yang penting hatinya. Populernya perbandingan Susi Pujiastuti dan Ratu Atut di internet kemarin menunjukkan banyaknya kepala yang mempercayai hal ini –karena memang kenyataannya lingkungan memberikan banyak contoh yang merepresentasikan. Namun sekali lagi semua itu tidak membantah argumen bahwa memakai kerudung lebih baik dibanding dengan tidak memakai kerundung. Karena di mata saya perbandingan yang sesuai bukanlah antara perempuan berkerudung dan perempuan lain yang tidak berkerudung, namun perbandingan perempuan itu sendiri dengan dua versi dirinya yang berkerudung atau tidak. Jauh di antara berbagai argumen pembenaran, dalam hati saya merasa yang benar yang mana. Pengingkaran selanjutnya adalah lewat penafsiran sendiri terhadap ayat-ayat yang diamati secara parsial. “Menutup aurat sehingga terlindungi” dimaknai dengan banal seperti video 10 Hours Walking in NYC as Woman in Hijab. Konfrontasi yang terjadipun cukup dangkal; apakah hanya di tangan wanita sendiri keputusan untuk dilecehkan atau tidak lewat penampilan yang dipilihnya. Terlebih lingkungan selama ini cukup sering mengucapkan ‘jilbaban atau nggak sama saja’ atau berita yang menunjukkan kejadian pelecehan terhadap perempuan yang tidak pandang penampilan –toh kalau kita jalan di pasar abang-abang tetep bilang ‘assalamualaikum mbak, ayune,’. Namun pada akhirnya, kontradiksi ini sendiri bukan berujung pada solusi menunda pemakaian kerudung atau tidak memakai kerudung sama sekali. Memang ada banyak logika yang mendukung penundaan dari sana, namun pada akhirnya alasan itu selalu disadari sebagai upaya menipu diri. Akan selalu ada suara di kepala yang berujar, ‘itu bukan alasan,’. Pada akhirnya pada proses pencarian pun saya menemukan bahwa frasa terlindungi bukan sekedar terlindungi dari harrasment. Jauh di bawah itu semua, terdapat sebuah reaksi subconcious akan sense of accomplishment yang didapat dari berbagai bentuk pujian berupa munculnya hormon dopamin yang adiktif dan memabukkan. Bagi perempuan –makhluk yang selama ini dijadikan representasi keindahan, pujian mengenai penampilan merupakan salah satu sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Karena itulah perempuan merupakan sasaran utama bagi produksi bertema mempercantik diri; skin care, make up, fashion, dieting, dan lainnya. Sejatinya, proses berkerudung merupakan upaya untuk menjaga diri dari keinginan terafirmasi menarik tadi. Namun bagi seorang yang mengklaim diri ‘tidak begitu memperdulikan penampilan’ seperti saya, statement terakhir tadi bisa dibantah dengan ‘kerudung bukanlah satu-satunya mekanisme pertahananan’. Pada suatu kurun waktu hidup, saya sempat berbangga hati karena tidak banyak melakukan aktivitas mempercantik diri seperti perempuan kebanyakan yang saya kenal. Saya juga merasa memiliki pertahanan yang cukup karena dibanding melakukan aktivitas selfie and share, saya lebih sering membagikan hasil karya seperti tulisan dan foto di media sosial. Pada titik itu, saya merasa lebih baik ketimbang hijaber-hijaber dengan instagram yang penuh foto cantiknya. Konyol? Iya. Lebih memalukan lagi ketika pada titik selanjutnya saya sadar bahwa tindakan tadi tak lebih dari mempercantik diri versi anti-mainstream. Subtext dari ‘gue nggak suka makeup-an’ sebenarnya adalah ‘biar gak dandan gue tetep cantik’. In the end, it is just another definition of beauty i tried to show for. Ketika di lain forum saya mulai mengkritisi bagaimana perempuan diobjektifikasi lewat tampilannya dan memahami bagaimana kultur selama ini menyetir perempuan melalui nafsu akan apresiasi, kehadiran kerudung sebagai representasi bahwa perempuan telah selesai dengan urusan penampilannya datang sebagai jawaban. Di sini, sekali lagi, saya menemukan alasan penundaan selama ini adalah memang keinginan untuk tampil cantik. Memalukan dan bagitu susah diterima, sehingga diselubungi dengan berbagai justifikasi seperti yang dijelaskan di awal tadi. Namun nyatanya memang sesederhana itu, rambut yang tergerai melalui leher dan membingkai wajah selama ini menjadi salah satu fitur kencantikan paling solid. Jika sebelumnya wacana kerudung yang selalu diasosiasikan dengan vonis neraka memberikan kesempatan pada ‘nanti’ untuk dilakukan dalam rangka keinsyafan, namun kenyataan bahwa nafsu untuk berusaha agar terlihat cantik tidak bisa ditunda lagi. Menemukan pemahaman itu membuat penundaan menjadi kegelisahan yang berlarut, sampai kapan membiarkan keputusan berkontradiksi dengan kebenaran yang dipercayai? Berbagai justifikasi memang bisa diantitesis seperti tadi, namun jauh di dalam hati terdapat keyakinan yang menunjukan mana yang benar. Lalu bukankah kita belum menjadi diri kita seutuhnya sebelum kita mewakili apa yang kita pikirkan? Di sana, saya akhirnya menemukan memutuskan bertemu ‘nanti’. II.
Setelah menggunakan kerudung, ada satu pertanyaan yang cukup sering dibahas, yaitu jenis kerudung seperti apa yang ingin dipakai? Karena tampaknya, saat ini terdapat begitu banyak lingkaran dalam pemakai kerudung; kerudung biasa, hijabers, syar’i, syar’i populer, hijabers syar’i, dan lainnya. Keputusan memakai kerudung pada masa ini begitu dimudahkan dengan berbagai ketersediaan. Sementara pada puluhan tahun lalu keadaan jauh berbeda, ketika cara berpakaian pun diatur berdasarkan ras; pribumi dan Belanda. Kebebasan untuk menggunakan kerudung perlu diperjuangkan, salah satunya oleh Rahmah El Yunisiyyah pada Kongres Batavia tahun 1935. Selanjutnya setelah kemerdekaan pun pilihan untuk berkerundung masih cukup mengalami banyak batasan, karena sering diasosiasikan dengan kelompok subversif. Pemerintahan Orde Baru bahkan sempat mengeluarkan surat keputusan pelarangan menggunakan kerudung di sekolah. Era reformasi bisa dibilang titik balik meningkatnya pemakai kerudung di Indonesia. Pada masa-masa itu –bahkan sampai awal dekade ini, kata yang sering dipakai hanyalah kerudung atau jilbab –kadang ditambah dengan adjektif ‘panjang’. Model kerundung yang paling banyak digunakan adalah kerudung persegi yang dilipat menjadi segitiga –dengan variasi panjang yang berbeda di setiap orang, juga kerudung instan yang saat itu didominasi oleh produk Rabbani. Sementara kata
hijab sendiri mulai familier di telinga Indonesia sekitar tahun 2010-an, ketika seorang desainer busana muslimah bernama Dian Pelangi memberikan varian baru dalam model kerudung. Kata hijab digunakan karena merupakan frasa yang digunakan skala internasional untuk kerudung. Secara terminologi, hijab sebenarnya adalah sebuah bentuk penutup atau penghalang. Semua jilbab itu hijab, namun hijab itu tidak selalu berupa jilbab. Sementara jilbab adalah pakaian menutup aurat seluruh tubuh, salah satu bagiannya adalah kerudung atau khimar. Jadi, kerudung adalah bagian dari jilbab. Sekalipun pengertian terminologis begitu, pengertian umum saat ini mulai menggeser kata jilbab dengan hijab sebagai kerudung muslimah dengan menjadi sebuah bentuk pemakaian kerudung yang lebih kontemporer. Misal awal memakai kerudung ada teman yang berpesan ‘jangan jadi hijaber, ya’. Bila hijab+er secara definitif mengacu pada mereka yang menggunakan salah satu bentuk hijab, bagaimana bisa saya memakai kerudung tanpa menjadi hijaber? Oke, ini salah satu permasalahan terminologis versus pengertian umum. Pada perkembangannya, kehadiran kata hijab ini menjadi diferensiasi berbagai varian kerudung yang merepresentasikan identitas. Pembedaan tersebut difasilitasi oleh berbagai macam produk kerudung di pasaran, semisal kerudung segiempat, pashmina, khimar, shawl, hingga scarf, yang bisa dibedakan lagi berdasarkan bahan ( -paris, tyrex, sifon, ceruti, dobel hycon, sampai katun) atau kata-kata lain yang disampirkan sebagai peliyanan seperti syar’i, modis, instan, wide, turban, juga dari bergo sampai bersha. Menemukan banyak kata yang tidak dimengerti? Tunggu sampai mendengar berbagai produk aksesoris yang mendukungnya seperti ciput, kerudung maroko, atau inner ninja. Ragam produk ini mengkasifikasikan para pengguna kerudung berdasarkan pemakaiannya yang terlihat secara visual. Sebagai pemakai kerudung yang baru memulai di masa seperti ini, saya mengawali keputusan itu dengan membeli sejumlah kerudung dengan beberapa varian yang saya anggap sesuai. Awal kegiatan konsumsi itu saya anggap sebagai pemenuh kebutuhan. Selanjutnya, saya mempelajari berbagai tutorial hijab di internet. Alasannya, saya merasa perlu tahu bagaimana cara membentuk kain berukuran 80 x 200 cm itu menjadi kerudung yang bisa dipakai dengan sesuai. Namun alasan ‘perlu tahu memakai kerudung yang pantas’ itu perlahan berkembang. Ketersediaan tutorial yang begitu beragam dan bisa dinikmati secara gratis membuatnya menjadi candu yang dianggap tak berbahaya sebab dimaklumi sebagai euforia.
But you know what they say, if something is free, then the product is you.Tutorial-tutorial gratis itu memberikan informasi akan ketersediaan berbagai macam kemungkinan kreasi kerudung, kemungkinan yang akan terwujud dengan kepemilikan produk. Sehingga setelah mengetahui kemungkinan itu, keinginan yang muncul adalah menambah koleksi kerudung. Selanjutnya pemakaian kerudung bukan lagi tentang ‘bagaimana berkerudung yang benar’ namun berpindah level ke ‘bagaimana mengenakan kerudung yang tetap terlihat bagus’. Ketika yang menjadi concern adalah warna yang pas, motif yang cocok, dan model yang bagus, aktivitas konsumerisme pun dimulai. Kemudahan belanja lewat online shop membuat cukup banyak saldo rekening berkurang hanya dengan klik sana sini di depan monitor. Sekali lagi, bahkan kegiatan bernuansa religi yang bertujuan kesederhanaan tetap bisa dijadikan komoditas yang menguntungkan pasar. Tak bisa dipungkiri bahwa pola hidup ‘syariah’ pada waktu ini memang menjadi pasar yang bernilai tinggi. Kita tidak hanya difasilitasi dengan bank bersistem syariah, namun juga wisata religi, sinetron religi, hotel syariah, salon syariah, kosmetik halal, dan tak lupa fashion syariah. Dengan 87% populasi muslim dan 60% merupakan kelas menengah(1), Indonesia merupakan lokasi pasar yang strategis bagi target konsumen berupa kelas menengah muslim kekinian. Pada kerangka ini, kerudung merupakan salah satu lajur kosumsi yang cukup populer. Maraknya industri ini sampai meningkatkan omzet 25-30% perbulan bagi sebuah penjual kerudung online, Alifa Store(2). Popularitas ini juga dilirik kalangan UKM sehingga 30% dari 750 UKM Indonesia saat ini berupa indsutri fashion islam(3). Kepopuleran kerudung terlihat dari sosok-sosok yang menjadi ikonnya. Misal kita punya Oki Setiana Dewi sebagai ikon kerudung syar’i. Pada model kerudung yang lebih populer namanya lebih banyak lagi, misal Dewi Sandra, Zaskia Sungkar, Jenahara, atau Zaskia Mecca. Ketika kita masuk pasar, para penjual akan menawari kerudung dengan model ‘jilbab Angel Elga’, ‘kerudung Marshanda’ atau ‘kerudung Fatin’, dan berbagai nama lainnya. Dari sana tampak bahwa yang menjadi ikon representasi penjualan kerudung adalah selebriti ketimbang tokoh-tokoh agama. Melalui pencitraan kerudung dengan tokoh selebriti ini, angka penjualan kerudung pun terdongkrak. Misal penjualan produk kerudung Rabbani di tahun 2013 mencapai angka setengah triliun dibantu dengan citra Fatin Shidqia Lubis yang dekat dengan segmen remaja sebaga brand ambasador-nya(4). Selain menjadi duta produk, banyak juga para selebriti yang menjadi pemilik dari usaha penjualan kerudung (Zaskia Sungkar, Zaskia Adya Mecca) dan juga pemilik bisnis kerudung yang menjadi selebriti (Dian Pelangi, Jenahara, Fitri Aulia). Para ikon ini mendekat ke khalayak ramai lewat dunia maya, dengan salah satu jalur populernya yaitu instagram. Dengan mengunggah foto memakai produk ke ribuan –bahkan jutaan follower, kegiatan pemasaran berjalan begitu mudahnya. Di lain pihak, generasi kini difasilitasi dengan berbagai portal dan aplikasi berbasis internet untuk mengembangkan kultur selebritas tanpa membutuhkan organisasi dari struktur yang telah mapan. Misal lewat youtube atau soundcloud kita bisa menjadi musisi terkenal tanpa label rekaman. Tanpa internet, mungkinkah kita mengenal Agus Mulyadi, Dian Safira, Zarry Hendrik, Diana Rikasari, Daffa Sofa, Jonru, atau bahkan Dijah Yellow? Kesetaraan fasilitas dalam dunia maya terhadap ikon kerudung tadi menjadi kesempatan untuk sama terapresiasinya dengan tokoh idola, mereka yang terafirmasi sebagai panutan.
All we have to do is post a photo and share. Tapi sekalipun untuk tampil jauh lebih mudah di internet, namun di dunia maya tetap terdapat struktur sosial yang sama hirarkisnya dengan dunia nyata. Di sana terdapat lingkaran dalam lingkaran yang ekslusif –namun cukup terbuka untuk diakses publik, menyentuh tepat pada titik
the fear of being leftoutsehingga menggerakan diri untuk ikut terlibat. Struktur hirakis tetap dibawa ke dalam dunia maya, terepresentasi lewat jumlah follower, like, reblog, dan macam-macam bentuk hits lain sebagai parameternya.
So what if you post a photo but you have no follower? Selain tampil kita juga perlu penonton, untuk mensuplai dopamin sebagai tanda bahwa kita telah mencapai sesuatu. Lalu bagaimana jalan termudah menarik ramai selain menjadi
exhibisionist and entertaining? Misal kembali ke contoh instagram. Tema ekshibisi yang dipopulerkan dalam ekosistem instagram oleh para ikon kerudung idola adalah standar ‘menampilkan diri’ yang sesuai. Saat ini, standar tersebut teraplikasi lewat hastag #ootd (outfit of the day), #iwakeuplikethis, #’myname’pick, atau tandapagar
lookatme lainnya. Nyaris seluruh foto yang diunggah para ikon kerudung tadi berupa foto diri yang terlihat menarik dengan karakter masing-masing. Dengan ikon kerudung yang secara visual terklasifikasi di atas rata-rata, tagline terselubung yang dibentuk oleh mereka lalu direproduksi oleh khalayak netizen adalah ‘cantik dengan kerudung’. Pengguna internet, wanita, dan anak muda, adalah tiga subkultur dari era gelombang baru konsumen saat ini, yang disebut new wave ready customer. Dengan jumlah pengguna internet 83,7 juta orang atau 32% dari jumlah populasi(5), 87% berupa muslim, dan 44,98% nya berusia produktif(6), industri kerudung dengan pemasaran online berkembang marak di Indonesia. Ketersediaan fasilitas di internet yang bisa dinikmati secara gratis seperti instagram tak lebih dari salah satu bentuk perangkat peningkatan kegiatan konsumerisme. Tak jauh berbeda, kali ini kata cantik jugalah yang menjadi iming-imingnya. Agitasi bahwa ‘cantik lebih indah’ dengan langgeng berjalan sampai sekarang. Semenjak lahir, tanpa sadar kita selalu dicekoki dengan sebuah premis bahwa ‘hidup akan menjadi lebih indah ketika kita lebih cantik’. Bagaimana media mengkonstruksi paham bahwa cantik fisik itu mutlak toh juga sudah begitu sering dipreteli –sekalipun media mengkampanyekan
‘love and be yourself’namun tetap saja tak ada ruang bagi wajah kusam. Di keseharian pun, kita tak memungkiri pernah bersikap berbeda dengan mereka yang berfisik menarik di atas rata-rata (baca: cantik atau ganteng). Industri kerudung atau umumnya pakaian isalmi merupakan salah satu lini dari kampanye ‘cantik itu lebih indah’. Selayaknya sebuah industri, komoditas ini juga memiliki media
marketing yang diliyankan dengan kata ‘islami’. Misal fashion show islami, majalah fahsion islami (misal Paras, Alia, Hijabista, Noor), produk kecantikan halal (yang saat ini didominasi Wardah). Seperti iPhone yang terdifferensiasi sebagai produk ‘
only cool user’, komoditas islami pun memiliki pasar yang dikonstruksi sebagai ‘muslim kontemporer yang tidak ketinggalan zaman’. Peliyanan ini berdampak dengan meningkatnya penjualan produk yang diusung. Misal Wardah yang omzetnya melonjak sekitar 75% selama empat tahun terkahir. Dengan omzet Rp 2,4 triliun setahun, produk Wardah mengalahkan produsen kosmetik lain yang lebih dahulu hadir seperti Sari Ayu atau Mustika Ratu(7). Nuansa religius dari produk tersebut berkelindan dengan trend syariah yang berkembang saat ini. Lalu jika begitu, apakah dengan memakai kerudung objektifikasi terhadap perempuan berhenti? Apakah tidak ada perempuan berkerudung yang dijadikan penarik hati konsumen untuk memiliki sebuah produk? Apakah kemudian pandangan kaum adam terhadap perempuan berkerudung tak lagi sekedar tampilan fisiknya? Agar bisa menjawab tidak, maka ditempelkan kata ‘islami’ pada berbagai aktivitas objektifikasi wanita tadi. Misal fotografi islami di mana sang fotografer hanya memotret wanita cantik berkerudung kemudian memperlakukan model sebagai objek yang dipercantik mulai dari sebelum sampai sesudah aktivitas fotografinya, lalu diakhiri dengan apresiasi yang lagi-lagi tentang tampilannya. Apresiasi tampilan itu pun ditaburi dengan cuplikan religius semisal
‘pandangan pertama ‘subhanallah’, selanjutnya ‘insyaallah’ atau ‘
we might be okay to marry 4, but i doesn’t apply to you because you are a 10’. Perempuan berkerudung akhirnya dijadikan excuse untuk tetap terus memandang dalam semangat menjaga pandangan. Cantik, sebuah frasa yang akhirnya membuat kedua varian ‘berkerudung’ dan ‘tidak berkerudung’ terlihat sama saja. Ketika dalam penundaan terdapat alasan untuk bisa tampil cantik, maka dalam pemakaian kerudung terdapat jalan keluar berupa cara tetap bisa cantik dengan berkerudung. Tanpa dikendalikan, nafsu akan apresiasi akan terus minta dituruti lewat akomodasi yang disediakan konsumerisme –dengan kerudung sebagai salah satu produknya. Di sana, kerudung bukan lagi representasi perempuan yang telah bertuntas dengan penampilannya, karena ia dimaknai sebagai bagian dari penampilan. Sama seperti sebelumnya, kerudung menjelma jadi
another definition of beauty to be showed. III.
Lalu pertanyaannya, salahkah dengan memperhatikan penampilan agar bisa terlihat baik? Apakah kita harus berhenti memakai segala macam produk kecantikan agar bisa menghindari konsumerisme? Apa yang salah dengan menjadi cantik? Saya mencoba menghindari jawaban klise seperti ‘
it’s okay to be like that, as long it’s not too much,’ atau apapun dengan esensi ‘kita tidak bisa memaksakan diri untuk hanya berada di satu kutub namun sebaiknya seimbang’. Namun kita tahu bahwa berpenampilan adalah sebuah bentuk relasi sosial antar manusia, meski akhirnya apakah kita menampilkan diri kita
for the sake of anyone else? Menyenangkan orang lain dengan pakaian (misal berpakaian terutup untuk tidak mengusik nafsu lelaki) jelas tidak akan ada habisnya karena mendapat persetujuan dari semua orang jelas tak mungkin. Di sini saya sadar bahwa akhirnya sekedar memakai kerudung sekalipun bukan berarti begitu saja permasalahan –dalam hal ini objektifikasi, selesai.
Kerudung adalah salah satu bagian dari cara untuk itu, namun tanpa kesadaran untuk mengusaikan diri dengan penampilan juga akan berakhir sama –seperti yang tadi dijelaskan. Objektifikasi akhirnya akan selesai ketika nafsu untuk terafirmasi cantik bisa dikendalikan. Mengutip salah satu puisi Cak Nun dan buku Lautan
Jilbab;
Jika wanita bangga sebagai benda / Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya / Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia / Luntur manusianya, tinggal syahwatnya. - Sumber: (1) ADB dan BPS 2010 dalam Tempo 28 Agustus 2014| (2)
Peluangusaha| (3)
Viva| (4)
Tribunnews| (5)
TeknoKompas| (6)BPS (7) Tempo 28 Agustus 2014| Gambar: pinterest.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya