Waktu itu masih pukul 9 pagi, sisa-sisa dinginnya Malang berbaur dengan matahari yang mulai memanas. Terminal Arjosari sudah ribut, dengan deru bus, teriakan kernet, dan hiruk pikuk penumpang. Saya naik ke salah satu bus, mengiringi seorang Mbak yang berusia sekitar 25-an. Di dalam lenggang, kami menuju kursi yang berbeda.
Sesaat sebelum bus bergerak, seorang Mas naik terburu-buru. Di dalam, dia menuju kursi kosong di samping si Mbak. Saya menoleh ke jendela memandang jalan, bus mulai bergerak.
Samar-samar, terdengar percakapan. Saya menoleh, melihat si Mas dan si Mbak saling bicara. Sesaat kemudian mereka saling memberi tangan untuk bersalaman. Petugas bus datang, meminta uang untuk karcis. Saya kembali memandang jalan.
Lalu terdengar tawa. Saya menoleh lagi. Si Mbak tersenyum malu-malu sementara si Mas terus bicara. Saya memalingkan muka, namun tetap memasang telinga.
Mas: “Eh, aku udah lama nyari bukunya blablabla itu lo,”
Mbak: “Itu ada aku di rumah,”
Mas: “Wah, iya? Nanti kapan-kapan aku mampir ya?”
Mendengarnya, saya mengulum senyum. Ketika menoleh lagi, Mas dan Mbak sama-sama mengeluarkan ponsel. Hiruk pikuk menenggelamkan suara mereka, saya terdistraksi oleh yang lain. Lalu tiba-tiba…
“KIRI! KIRI!” Si Mas berteriak dan bergegas ke pintu depan bus. Semua mata menoleh memperhatikan. “Kiri, kiri! Astaga kelewatan!” Tepat di depan pintu, si Mas menoleh ke arah si Mbak, “Nanti aku sms, ya!”katanya sembari tersenyum, lalu turun.
Saya, dan hampir semua mata lainnya, menoleh memandang si Mbak. Yang dipandang memalingkan muka ke jendela, sambil menahan senyum malu di muka.
Berdasarkan kisah nyata, di suatu pagi bulan Oktober 2012.