Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembunuh (5)

10 Oktober 2014   19:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:35 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“…. Mati? ….Atau pingsan?” tanya Hertandi.

“Lehernya patah,” jawab Erwan sambil mengangkat kaki kanannya dari leher Galang.

Tampak kepala Galang berada dalam posisi mendongak miring ke arah bahu kirinya. Orang normal tidak akan bisa mendongakkan kepala seperti itu. Pastilah lehernya sudah patah.

Hertandi membungkuk sedikit memperhatikan mayat itu. Kacamata hitam yang dipakai orang itu dalam posisi miring, gagangnya sepertinya sudah membengkok atau patah. Bagian bawah wajahnya – hidung dan mulut, masih tertutup masker.

“Oh…” Hertandi sepertinya sudah menduga.

“Ini klien yang kamu ceritakan waktu itu?” tanyanya.

Erwan menganggukkan kepalanya.

“Si residivis,” katanya lagi menjelaskan.

“Aku bisa merasakannya dari tangan yang kupegang ini,” kata Erwan lagi. Dia bisa menebak karakter seseorang hanya dengan memegang tangannya. Entah telapak tangan, pergelangan atau lengan bagian bawah orang itu. Dan Erwan selalu ingat akan ciri-ciri tangan kliennya – orang-orang yang pernah berkonsultasi dengannya.

Hertandi kini terfokus pada pisau yang ada di tangan Galang.

“Pisau komando?” tanyanya setelah mendekat dan memperhatikan tangan mayat yang dicengkeram Erwan itu memegang pisau panjang. Jelas sekali, orang ini telah mempersiapkan dirinya – kacamata hitam, masker, dan pisau komando. Apa lagi?

“Iya, dia menyerangku dengan pisau ini,” jawab Erwan sambil menunjuk senjata tajam itu dengan dagunya.

“Berarti ramalanku sudah terbukti, ya,” kata Hertandi.

Erwan mengangguk. Dia tahu Hertandi bukan bermaksud menyombongkan kemampuannya meramal dengan kartu tarot. Hertandi bermaksud mengatakan bahwa bahaya yang diramalkannya akan mengancam Erwan sudah terjadi atau terealisasi. Sudah berlalu.

Erwan terdiam seperti merenung.

“Padahal aku sudah memperingatkannya – mengancamnya untuk jangan berbuat macam-macam padaku.” Erwan ingat betul apa yang dia katakan pada Galang.

“Anda harus hati-hati, cermat dalam bertindak, dan waspada.”

“Jangan turuti perasaan atau emosi. Gunakan akal sehat.”

Itulah yang diucapkannya.

Entah Galang tidak ingat akan kata-kata itu atau dia memang tidak memahaminya. Yang jelas, dia sekarang tewas akibat kelalaiannya. Dia mengabaikan peringatan orang yang hendak dibunuhnya.

Hertandi memandang ke atas. Kamera CCTV tersebut pasti merekam peristiwa ini. Peristiwa yang menyebabkan kematian Galang.

Erwan ikut memandang ke arah tersebut.

“Aku membelakangi kamera CCTV. Tidak akan terlihat bagaimana orang ini mati. Dia menubrukku, aku menghindar dan membantingnya. Bisa saja dianggap lehernya patah waktu jatuh terbanting dan aku tidak sengaja menginjaknya.”

Hertandi mengangguk-angguk.

“Kalau diotopsi mungkin akan ketahuan kalau tekanan kakiku di bagian depan leher itu yang menyebabkan lehernya patah. Bukan akibat benturan atau bantingan,” kata Erwan lagi.

“Betul, kalau disebabkan oleh bantingan tentunya ada bagian yang lebam di sekitar kepala atau bahu yang di mana bagian leher yang patah itu berada di antaranya,” kata Hertandi.

“Ya, apa pun penyebabnya kan kamu membela diri. Kamu diserang. Rekaman CCTV bisa memperlihatkan kejadian itu,” Hertandi membela apa yang dilakukan Erwan.

Erwan mengangguk.

Dia menatap Hertandi – tepatnya ke arah belakang Hertandi. Arah dari mana Hertandi tadi muncul

“Ada yang datang,” Erwan berbisik lalu menunduk.

Hertandi diam tidak menoleh ke arah yang dimaksudkan Erwan.

Dia mendengar langkah-langkah kaki dan suara orang-orang yang berbicara. Masih cukup jauh.

Dari tatapan mata Erwan, Hertandi sudah bisa menduga siapa yang mendatangi mereka.

“Polisi?” tanyanya perlahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun