Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembunuh (4)

3 Oktober 2014   00:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:36 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Galang berjalan menyusuri lorong-lorong yang terlihat mulai sepi itu.

Dia bergegas mempercepat langkahnya. Sesekali dia menengok ke kiri dan kanan setiap melewati persimpangan. Semakin lama semakin sedikit toko yang masih buka. Itu pun si pemilik toko beserta karyawannya sedang bersiap-siap untuk menutup toko mereka.

Galang terus berjalan sampai di area di mana sudah tidak ada lagi toko yang buka.

Di ujung lorong, dia melihat seseorang sedang berjongkok menghadap ke kanan. Rupanya orang itu sedang membetulkan tali sepatunya.

Galang berjalan menghampiri dan mengamati orang itu.

“Itu dia!” Galang nyaris berteriak saking gembiranya. Orang itu memang sedang dicari-carinya saat itu.

Orang itu sepertinya tahu ada yang mendekat. Masih menghadap ke kanan, dia lalu bangkit berdiri.

“Kesempatan!” pikir Galang. Orang itu belum berdiri tegak. Postur tubuhnya masih agak membungkuk.

Galang berlari kecil ke arah orang itu. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda yang sengaja disiapkannya: sebuah pisau komando dengan bilah sepanjang 20 sentimeter.

Orang itu tahu Galang mendekat tetapi sepertinya tidak mencurigai Galang. Menoleh pun tidak.

Dengan pisau di tangan kanan, Galang semakin mendekat. Tangan yang memegang pisau itu untuk sementara disembunyikan di belakang pinggang.

Setelah jarak mereka hanya beberapa puluh sentimeter, Galang menghunjamkan pisaunya ke arah orang itu. Bagian tubuh yang ditujunya adalah ulu hati, di bawah tulang rusuk.

Saat itulah orang itu melangkah memundurkan tubuhnya sedikit. Sekarang posisi orang tersebut berada di sebelah kiri Galang.

“Apa?” Galang terkejut. Tusukan mengenai tempat kosong. Ujung pisaunya tidak menyentuh apa pun.

Ini bukan pertama kalinya dia menusuk orang, bukan pertama kalinya dia membunuh orang. Galang adalah residivis yang “ringan tangan”. Untuk persoalan sepele saja dia bisa membunuh orang. Tak ada perasaan ragu-ragu, cemas, tegang, ataupun kegugupan melanda perasaannya setiap kali dia mencabut pisau dan menusuk korbannya.

Tapi kini, keyakinannya goyah.

Korban yang belum berdiri penuh itu mampu mengelakkan serangannya!

Dan bukan cuma itu, Galang merasakan tangannya – yang memegang pisau, dicengkeram orang itu. Cengkeraman yang kuat yang mampu membuat tubuhnya terasa semakin maju ke depan.

Galang merasakan tubuhnya melayang.

Segalanya berlangsung dengan cepat.

Kini, Galang sudah terbaring telentang di lantai. Tangan kanannya masih memegang pisau komando. Tangan itu juga masih dicengkeram orang tersebut. Galang merasakan perih di pangkal lengannya. Dia tahu, tangannya telah patah. Orang itu telah mematahkan tangannya.

Galang tidak mampu menggerakkan tangannya. Dia hanya merasakan kesakitan yang luar biasa.

Orang itu menatapnya dengan tajam seperti mengenalinya.

“Tidak mungkin,” pikir Galang. Dia masih memakai kacamata hitam dan belum melepas maskernya. Orang itu tidak mungkin mengenalinya.

Orang itu tidak mempedulikan atribut penyamaran Galang.

Dia mengangkat kaki kanannya seperti mau melangkah.

Galang merasakan bagian ujung sepatu orang tersebut di dagunya. Galang mencoba bangkit, namun dia tidak mampu bergerak sedikit pun. Bantingan yang dilakukan orang itu membuat tubuhnya serasa remuk, belum lagi tangan kanannya patah.

“Dipegangi terus pun percuma. Tak ada gunanya memegangi tanganku yang sudah patah,” Galang berkata lirih – lebih terdengar seperti berbisik.

Orang itu tampak tidak mengacuhkan kata-katanya.

Sol sepatu orang itu lalu menekan rahang Galang – memaksanya memiringkan wajah ke sebelah kiri.

Ketika wajah Galang sudah menghadap ke kiri…. dia merasakan sesuatu, sesuatu yang menyeramkan, lebih tepatnya kengerian menyelimuti dirinya!

Dia seperti melihat apa yang biasanya tercermin di wajah orang-orang yang dibunuhnya. Ekspresi kengerian para korban pembunuhan itu sebelum mereka meninggal. Galang merasakan ketakutan yang amat sangat!

“KREK!” Terdengar seperti bunyi ranting pohon yang patah.

Galang merasakan sakit di lehernya. Selanjutnya hanya ada kegelapan. Tidak ada apa pun. Hening.

********

“Erwan!”

Teriakan seseorang membuatnya menoleh. Erwan melihat ke arah orang yang memanggilnya.

Hertandi tampak bergegas mendekat.

Erwan melambaikan tangan kanannya – sementara tangan kirinya masih mencengkeram tangan kanan seseorang yang sedang berbaring telentang. Kaki kanannya masih berada di leher orang itu, menginjaknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun