Pisau. Di dalam tasku ada pisau – batin Galang sambil meraba tasnya. Terasa bilah senjata tajam berbentuk pipih tersebut. Tas tersebut diletakkan di atas pahanya, tidak terlihat oleh Erwan.
Sekilas terlintas pikiran untuk membunuh Erwan saat itu. Orang ini akan membocorkan rahasiaku – pikir Galang lagi.
“Saya tahu apa yang Anda pikirkan,” kata Erwan sambil tersenyum.
Galang terkejut. Yang benar saja! Refleks, dia menarik tangannya dari tas tersebut. Dia segera meletakkan tangannya di atas meja.
“Anda harus hati-hati, cermat dalam bertindak, dan waspada,” kata Erwan melanjutkan.
“Jangan turuti perasaan atau emosi. Gunakan akal sehat,” katanya lagi – dengan suara agak tegas.
Galang terdiam. Dia mengangguk. Dia tidak menyadari ada ketegasan yang tidak biasa dalam kata-kata Erwan barusan. Ketegasan yang terdengar seperti tantangan atau mengancam agar Galang mengurungkan niatnya.
********
Sore harinya.
Mal tempat Erwan membuka praktik konsultasi sudah mulai sepi. Banyak toko yang sudah tutup. Erwan juga sudah menutup ruang praktiknya yang terletak di lantai 3 – lantai paling atas.
Dia lalu bergegas menuju lift. Ada janji dengan Hertandi – rekan sesama “paranormal”.
Erwan sering tertawa kalau mengingat sebutan paranormal itu. Apanya yang paranormal? Dia hanya merasa mempunyai bakat untuk ‘memahami’ apa yang digambarkan di telapak tangan orang. Itu saja. Erwan tidak mampu melihat hal-hal gaib atau memprediksi kejadian luar biasa yang akan terjadi di masa depan. Kalau bisa, tentu dia sudah kaya raya sekarang. Makanya, dia menolak disebut paranormal.
Hertandi adalah seorang peramal kartu tarot atau tarot reader. Sama seperti Erwan, dia hanya bisa membaca kartu yang diperlihatkan padanya. Kartu apa yang dipilih itulah yang akan dijelaskannya.
Beberapa hari yang lalu, Hertandi pernah meramalkan bahwa ada bahaya yang mengancam Erwan. Walaupun demikian, Erwan berusaha bersikap biasa-biasa saja – dia tidak ingin merisaukan Hertandi.
“Yah, siapa sih yang senang kalau rahasianya diketahui orang lain? Aku pernah diancam mau dibunuh lho gara-gara aku bilang kalau klienku itu korupsi proyek besar-besaran,” kata Erwan suatu ketika.
“Aku kan langsung bicara begitu melihat garis tangannya, mana sempat aku memilih kata-kata yang indah-indah – biarpun artinya sama saja,” katanya lagi.
Sekarang Hertandi mengajaknya bertemu di café langganan mereka.
Di depan lift tampak ada seseorang yang juga sedang menunggu. Erwan memperhatikan orang tersebut. Sepertinya dia familiar dengan orang itu.
Tetapi ada yang tidak biasa.
Orang itu memakai topi, berkaca mata hitam dan memakai masker. Kalau berada di luar gedung atau di jalan – siang hari, mungkin dia cocok mengenakan atribut semacam itu. Tetapi ini di dalam mal.
Mungkin dia sedang sakit flu – pikir Erwan positive thinking.
Namun ada hal lain lagi yang membuatnya bingung. Lift di depan mereka ada dua. Lift di sebelah kanan dalam posisi turun dan menunjukkan angka 2, satu lantai di bawah mereka. Berarti lift tersebut baru saja turun.
Kenapa orang ini tidak masuk lift itu dan malah menunggu lift yang sebelah kiri? Jam segini biasanya lift sudah sepi. Mencurigakan.
Lift sebelah kiri dalam posisi naik tetapi masih berada di lantai basement. Masih lama untuk naik ke lantai 3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H