Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Atlantis (8)

5 Desember 2014   18:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:58 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kami tiba di dalam bungker itu.

“Kamu – apa yang kaulakukan sampai Yon berhasil menangkapmu?” tanyaku.

“Aku ingin memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengetahui keberadaan tempat ini,” katanya lagi. “Aku keluar bungker dan mencarimu. Saat itulah mereka menembakku dengan peluru bius – berisi morfin.”

Sepertinya sedikit banyak mereka telah memiliki informasi tentang Pretty, paling tidak mengetahui hal-hal yang penting tentangnya. Bukan tidak mungkin mereka juga tahu kalau Pretty mempunyai kekuatan telekinesis.

“Bersyukurlah alat pelacak yang ada di tubuhmu sudah kupindahkan,” kata Pretty.

Aku teringat anjing kampung itu.

“Anjingnya…”

“Sesudah mereka menemukanmu – si penembak jitu berhasil mengidentikasi dan memastikan keberadaanmu di sini, mereka langsung menghancurkan wadah tempat microchip GPS itu dengan smart bomb. Binatang itu tewas seketika.”

Rupanya mereka juga terus melacak microchip GPS itu. Mereka tahu bahwa sinyal yang dipancarkan dari microchip itu tidak berasal dari tubuhku – tetapi dari orang atau makhluk hidup lainnya. Bagaimana jika Pretty menanam microchip itu di tubuh manusia dan bukannya anjing kampung? Pasti orang itu akan terbunuh juga.

“Kamu tadi tidak sedih atau berduka begitu – waktu aku dibunuh oleh Gideon?” tanyanya.

Aku merasakan nada suaranya meninggi. Sepertinya Pretty agak disappointed.

Aku memikirkan perasaanku waktu itu.

“Maaf…” kataku. “Mungkin aku terlalu fokus pada upaya melarikan diri dari tempat itu.”

“Hm?” Pretty – si prajurit wanita itu, membuka penutup wajahnya dan memandangku.

Ternyata prajurit itu cantik sekali. Terlalu imut untuk ukuran seorang pasukan elite.

“Dia ini intel, makanya tampangnya tidak seperti tentara,” kata Pretty. Intel berarti intelijen – jadi si prajurit ini berdinas di bagian intelijen atau dinas rahasia.

“Sudah punya pacar dan sebentar lagi akan menikah,” katanya lagi.

“Hei, aku tidak tanya itu kan?” tanyaku jengkel.

Dia lalu menatap mataku dalam-dalam. Lalu menghela napas panjang.

“Emosimu, sepertinya … semenjak banyak organ tubuhmu diganti dengan yang artifisial – termasuk pemasangan microchip di otakmu, kau menjadi kurang peka. Perasaanmudan emosimu … menjadi tidak sesensitif dulu.”

Barusan aku merasa jengkel – apanya yang tidak sensitif?

“Marah dan merasa empati itu berbeda,” Pretty menerangkan. “Sensitif maksudnya bisa memahami perasaan orang lain atau ikut berempati. Semacam itulah. Bukannya gampang tersinggung, ya.”

Aku terdiam. Aku tidak merasakan perbedaan yang mencolok pada diriku. Apa benar aku menjadi kurang sensitif? Entah bagaimana aku harus menyikapinya.

“Ayo kita ke dalam,” ajaknya.

“Bersyukurlah mereka menghendaki Kristal Atlantis itu, jadi mereka tidak menghancurkan tubuhmu. Kalau tidak, Pasopati 8 itu pasti sudah dipasangi hulu ledak dengan daya hancur yang lumayan,” katanya lagi. “Tapi kamu masih terlalu kuat untuk bisa dilumpuhkan dengan rudal kosong itu.”

Aku terdiam. Apa aku bisa mati kalau tubuhku hancur jika hulu ledak rudal tadi dilengkapi dengan muatan ekplosif berdaya ledak tinggi?

“Mati sih tidak, kan kamu punya nanotech. Kecuali ….”

Kenapa sih orang ini terus-menerus membaca pikiranku?

“Kecuali apa?” tanyaku.

“Nuklir” jawabnya sambil menatapku tajam.

Nuklir? Jangan-jangan isu itu benar – TNI memiliki senjata nuklir.

Pretty – dalam wujud si prajurit cantik, mengangkat kedua bahunya.

Oke, rahasia negara ya? – aku tahu maksudnya.

Ia lalu mengajakku masuk ke ruangan yang sangat besar. Rupanya bungker ini luas sekali.

“Letakkan saja tubuhku itu di situ,” katanya sambil menunjuk satu tempat – pembaringan, seperti tempat tidur untuk pasien yang akan menjalani operasi. Aku pun meletakkan tubuhnya di sana. Tubuh itu mulai kaku dan terasa lebih dingin.

Pretty mengajakku ke dalam ruangan yang besar itu.

Ia memperlihatkanku sesuatu. Sesuatu yang membuatku tercengang. Di hadapanku ada banyak kapsul tidur berisi manusia. Aku beranjak mendekati salah satu kapsul itu untuk melihat lebih jelas siapa yang ada di dalamnya. Permukaan kapsul itu bening seperti kaca sehingga aku bisa melihat isinya.

Apa yang kulihat semakin membuatku terkejut.

“Ini … kamu?” tanyaku.

Aku melihat Pretty tertidur di kapsul itu dan di kapsul sebelahnya, sebelahnya lagi, dan seterusnya.

Ada puluhan Pretty di dalam ruangan itu. Semuanya dalam kondisi tertidur. Mereka tertidur dalam tabung yang berisi cairan.

Ia mengangguk.

“Salah satu rahasia Atlantis,” katanya.

Ia lalu menceritakan mengenai apa yang dilakukan kedua orangtuaku di bungker tersebut.

Ternyata mereka menyimpan puluhan Pretty dalam bungker di bawah tanah di kebun belakang rumah kami itu. Semua Pretty itu dalam keadaan tertidur namun pikiran mereka tetap menyatu terhubung satu sama lain sehingga apa yang dialami oleh Pretty yang aktif juga akan tertanam di benak mereka yang nonaktif (tertidur). Begitu Pretty yang aktif meninggal atau terbunuh, maka satu Pretty yang lain akan menggantikannya tanpa perlu beradaptasi lagi karena semua informasi terkini sudah diserapnya.

“Aku tidak tahu apakah yang akan terbangun nanti adalah aku yang sama atau berbeda. Namun satu hal sudah pasti, semua ingatanku, apa yang kualami, apa yang kurasakan, semuanya akan tersimpan di tubuh itu juga dan di tubuh-tubuh yang lain juga.

Ia mendekati salah satu tubuhnya yang tertidur itu. Lalu ia menunduk dan berkonsentrasi. Sepertinya ia sedang melakukan koneksi dengan tubuh tersebut.

Si prajurit wanita itu tiba-tiba terjatuh – aku segera menangkap tubuhnya.

Aku memandang tabung di depan si prajurit wanita sebelumnya berdiri.

Kuperhatikan cairan dalam tabung yang memuat salah satu Pretty yang sedang tertidur itu perlahan-lahan menyurut.

Pretty yang berada di dalam tabung itu membuka matanya. Ia terbangun.

Pretty hidup kembali dalam wujud Pretty yang sama – namun ia bukanlah Pretty yang sebelumnya. Bagian depan tabung itu, yang berbentuk kaca, bergeser ke samping kiri – membuka.

Aku memperhatikan Pretty yang baru terbangun itu. Tubuhnya mengenakan semacam pakaian khusus yang tahan air.

Ia tersenyum dan memandangku dengan tatapan mata yang familiar.

“Efran,” panggilnya. Ia mengenaliku.

“Kamu… immortal?” tanyaku.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun