Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Atlantis (4)

24 November 2014   03:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:02 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku terbangun. Aku melihat ke sekelilingku.

Aku mencoba mengingat-ingat apa yang barusan terjadi padaku. Rupanya sistemku mati total dan energiku terkuras habis – termasuk emergency power. Semua data-data temporer hilang.

Dalam waktu satu hari, sudah dua kali aku pingsan. Aku ini cyborg yang payah! Jika saja aku berada dalam kondisi fit, aku masih bisa melakukan aktivitas normal – tanpa kekuatan artifisialku, minim pemakaian energi substitusi.

Aku mengecek status sumber energiku: charging.

Aku ingat ada ledakan tetapi tidak bisa kuketahui kapan dan bagaimana terjadinya. Aku tidak menemukan rekaman CCTV atau apa pun yang mendukung informasi tersebut. Satu-satunya informasi yang kudapat mengenai hal itu adalah perkataan Pretty.

Sensorku menangkap ada orang lain di sekitarku. Terlalu dekat.

Aku memalingkan wajahku dan melihatnya.

“Susah payah aku membawamu ke sini,” kata Pretty.

Rupanya sensorku juga masih lemah. Seharusnya aku bisa menyadari keberadaan seseorang lebih dini lagi.

Begitu melihatnya, aku teringat apa yang telah ia lakukan padaku. Kupaksakan tubuhku untuk bangkit. Aku ingin menerkamnya!

Tak bisa. Ada sesuatu yang mencegahku melakukan hal itu.

Pretty tersenyum.

“Aku tidak bermaksud jahat,” katanya.

Dia mengeluarkan Tablet PC-nya dan memperlihatkannya padaku. Benda itu terlepas dari genggamannya dan melayang ke arahku dan berhenti persis di depan wajahku.

Telekinesis.

Aku terkejut – she is a psychic! Tetapi aku menutupi rasa kagetku itu.

Berarti ia yang mengendalikan tubuhku, mencegahku menyerangnya.

“Aku tahu kau terkejut,” katanya.

Aku diam – memfokuskan pandanganku pada display Tablet PC itu.

Aku melihat beberapa aplikasi ditampilkan. Pengolahan pesan. Pesan terkirim. Semuanya ini terjadi secara otomatis. Bagaimana mungkin? Telekinesis adalah kemampuan menggerakkan atau memindahkan benda secara fisik tanpa menyentuhnya tetapi menjalankan aplikasi di gadget tanpa melihat display-nya dan tanpa ada sentuhan di touch screen tersebut…

“Aku bisa melakukannya,” kata Pretty.

“Tanpa menggunakan jariku,” katanya lagi sambil mengangkat jari telunjuk tangan kanannya yang lalu ditempelkan ke pelipisnya.

“Dengan kekuatan pikiranku.” Pretty menatapku tajam. Lalu ia menyingkirkan Tablet PC itu dari pandanganku – tanpa menyentuh benda itu.

“Jadi dugaanku selama ini benar. Kau bisa membaca pikiranku.” Aku memandangnya dengan tajam.

“Well, as you can see, I can do more than that,” katanya datar – tanpa merasa bersalah sedikit pun. “You should know how powerful our minds are.”

Heh. Aku tersenyum sinis. Yang paling penting bukanlah seberapa besar kekuatan yang dimiliki seseorang, tetapi bagaimana ia menggunakan kekuatannya itu.

Siapa Pretty ini sebenarnya?

Saat ini sulit untuk memperkirakan siapa kawan dan siapa lawan. Ayah berteman baik dengan banyak petinggi TNI tetapi lihat apa yang terjadi, mereka mengirim prajurit-prajurit yang paling terlatih untuk merampok rumahnya.

Lebih baik aku tetap waspada dan berhati-hati terhadap Pretty. Untuk sementara ini, mudah-mudahan perkataannya, “Aku tidak bermaksud jahat.” – bisa kupegang.

Aku mendapatkan notifikasi, seseorang mengirimkan pesan kepadaku.

Incoming mail.

Dari Pretty. Pesan yang barusan dikirimkannya…

“Kenapa kamu tidak langsung bicara saja? Kan tidak perlu mengirimkan e-mail ke aku,” kataku sambil membuka e-mail itu.

“Buka juga attachment-nya,” katanya singkat.

Ternyata Pretty mengirimkan rekaman CCTV yang memperlihatkan kejadian setelah ia membawaku keluar dari rumah.

Beberapa orang tampak memasuki ruang kerjaku, memeriksa mesin life support-ku yang berbentuk seperti CT scan itu. Setelah memeriksa sekeliling tempat itu, mereka lalu keluar ruangan.

“Kejadian ini setelah kita keluar dari tempat itu,” ia menjelaskan.

Ya, kita keluar – lebih tepatnya kamu mengangkutku keluar dari sana.

Sepertinya tim yang pertama kali datang – korpaskhas, belum memperoleh hasil yang memuaskan sehingga mereka mengirimkan tim berikutnya.

“Bukan cuma kamu yang memasang CCTV di ruangan itu,” katanya. CCTV yang kupasang di ruanganku tidak berfungsi lagi setelah Yon menginstruksikan anak buahnya untuk memutus seluruh sambungan CCTV yang ada di rumah itu. Untungnya, ruang kerjaku dilengkapi instalasi listrik tersendiri plus beberapa sumber listrik cadangan termasuk panel surya yang kurakit sendiri.

Pretty memasang CCTV di ruang kerjaku? Aku tidak percaya!

“Kamu melanggar privasi orang lain,” protesku.

“Kita sama-sama ilmuwan – berpikir logis tanpa modus. Iya, kan?”

Tanpa modus? Are you sure?

“Kalau aku harus menelanjangimu untuk memperbaiki – mengobati, bagian tubuhmu yang terluka katakanlah di area pribadimu, apakah menurutmu aku memikirkan hal-hal lain di luar prosedur medis tersebut?” Pretty sepertinya tersinggung. Jelas sekali ia membaca pikiranku lagi.

“Tak perlulah, aku bisa menyembuhkan diriku sendiri. Nanotech,” kataku.

“Bagus kalau begitu,” katanya ketus.

Bagaimana ia bisa memasang CCTV tanpa diketahui olehku – tanpa terekam oleh CCTV yang kupasang?

Aku kembali memutar ulang rekaman CCTV itu dan mengamati lebih seksama apa yang ditayangkan.

Dari sudut pengambilan gambar tersebut aku bisa memperkirakan letak CCTV yang dipasang Pretty.

“Kau…” kataku gemas.

“Ya,” sahutnya.

Pretty pasti memasang kamera pengintai pada boneka tanuki (raccoon dog) di atas mejaku. Boneka tersebut merupakan maskot olimpiade terakhir yang kuikuti. Setelah menjadi cyborg aku tidak memenuhi kualifikasi sebagai atlet lagi. Aku meraih emas di cabang atletik – marathon, mengalahkan atlet-atlet Afrika. Semenjak jogging menjadi tren, Indonesia banyak melahirkan pelari jarak jauh yang berbakat. Banyak kejuaraan marathon berskala internasional diselenggarakan di Indonesia. Atlet lari jarak jauh tersebut bahkan mampu menyaingi atlet bulutangkis dan angkat besi yang lebih dulu berprestasi di kejuaraan internasional.

“Yang mana?” tanyaku dengan sebal.

“Sebelah kiri,” jawabnya.

Jadi mata sebelah kiri yang diganti dengan kamera.

“Kamu benar-benar keterlaluan.” Aku kan tidak mungkin bisa ikut olimpiade lagi. Maskot itu satu-satunya kenangan yang kupunya, yang mengingatkanku bahwa sebelum menjadi cyborg aku adalah atlet yang berprestasi internasional. Fisik dan mentalku prima. Maskot itu yang selalu menghiburku tiap kali aku menyesali tubuh cyborg-ku ini.

Pretty tertawa terbahak-bahak.

Apanya yang lucu?

“Kamu salah. Aku tidak mengutak-atik boneka tanukimu itu. Ini buktinya.” Ia masih tertawa.

Pretty lalu kembali memperlihatkan Tablet PC-nya padaku. Sama seperti sebelumnya, tanpa menyentuh apa pun, aplikasi foto yang ada di sana terbuka. Tampak beberapa foto dalam tampilan kecil muncul. Salah satu foto tersebut membesar.

“Foto ini kuambil setelah aku memasang kamera itu.”

Aku melihat foto itu. Ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada di mejaku. Sesuatu yang dipasangi kamera pengintai oleh Pretty: boneka perempuan berambut pirang setinggi 12 inchi – persis di sebelah kiri maskot tanuki.

“Barbie?” tanyaku setengah berteriak.

“Kamu menaruh Barbie di meja kerjaku?” tanyaku – berteriak.

Pretty mengangguk.

“Cantik kan?” tanyanya sambil ikut memandang foto Barbie tersebut.

Aku terdiam menahan amarah. Sebal banget. Boneka perempuan di meja kerjaku? How could I miss it? Kenapa aku bisa sampai tidak tahu? Kapan terakhir kali aku bekerja di mejaku itu? Mungkin sekitar seminggu yang lalu.

“Ada Kent juga,” katanya sambil menunjuk foto itu. Jarinya mengarah ke boneka pria di sebelah kiri Barbie.

“Aku tidak tanya!” teriakku semakin keras.

Kent adalah pacar Barbie.

“Barbieku ini bukan boneka biasa lho,” katanya.

Boneka ya boneka. A doll is a doll, however you see it.

Limited edition, ya?” tanyaku menyindir.

“Ini boneka mata-mata,” katanya sambil tertawa. Ia lalu menunjukkan beberapa foto hasil jepretan si Barbie yang ada di ponselnya.

Memangnya ada yang lucu, ya?

“Kamu tidak memasangnya di instagram?” tanyaku menyindir.

Aku masih menatapnya dengan pandangan sebal.

Pretty ini … ilmuwan atau …

“Jangan marah-marah terus. Apalagi sampai berteriak-teriak seperti tadi, kamu menghabiskan bateraimu tahu.”

Aku berusaha menahan diriku. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Pretty, aku harus menghemat pemakaian bateraiku. Aku tak tahu kapan pengisian baterai ini dihentikan olehnya.

“Begitulah, selain menghabiskan banyak energi, amarah juga tidak baik untuk kesehatan. Salah satu organ tubuhmu yang masih asli adalah yang ada di dalam tempurung kepalamu. Otak.” Pretty menjelaskan panjang lebar hal yang sebenarnya sudah kuketahui.

Sounds like my mother.

Aku terdiam.

“Kalau kamu marah-marah terus tekanan darahmu naik dan pembuluh darah di otakmu pecah, kamu akan kena stroke.”

Tak perlu dijelaskan pun semua orang sudah tahu proses terjadinya stroke.

“Aku tidak akan terkena stroke. Nanotech akan memperbaiki pembuluh darahku yang tersumbat.”

Sebenarnya otakku juga sudah mengalami sedikit modifikasi. Ada beberapa microchip dipasang di otakku. Selain untuk meningkatkan kecepatan proses berpikir, kapasitas otakku pun mampu menyimpan data lebih banyak. Tapi itu jika aku berada dalam kondisi operasional penuh, dalam arti tidak kekurangan energi.

“Aku rasa kamu perlu juga untuk melihat ini,” katanya. Ia mengirimkan e-mail lagi.

Aku membuka file yang ia kirimkan.

Ada rekaman video situasi rumahku dari atas. Aku melihat pesawat militer terbang di atap rumahku. Pesawat berbaling-baling itu V-22 Osprey yang mempunyai kemampuan lepas landas vertikal seperti helikopter. Aku tidak tahu TNI mengoperasikan V-22 Osprey.

Beberapa orang menggunakan tali turun dari pesawat itu. Mereka merusak atap rumah lalu melompat turun ke dalam.

Drone. Kamu pakai drone?” tanyaku mengenai cara ia mengambil video itu.

“Tidaklah. Kalau drone pasti sudah ditembak jatuh.”

Aku ingat ia pernah meminta izin pada ayah untuk memasang kamera pengintai di beberapa pohon yang berada di perbukitan dekat rumahku. Untuk mengawasi keadaan kawasan di luar rumah. Rupanya kamera itu yang ia gunakan untuk mengambil video ini.

Aku melihat ada seseorang yang terlontar keluar rumah – ke arah kebun belakang. Cukup tinggi lontarannya.

“Orang itu… aku kan?” tanyaku.

“Who else?” Pretty balik bertanya.

Aku tidak berada di ruang kerja ayah saat itu. Aku berada di ruang belakang. Jadi kenapa aku bisa terlontar. Aku memang tidak ingat sedikit pun peristiwa itu. Melihat lokasiku berada saat itu – sebelum terlontar, bisa kuperkirakan kalau aku bahkan tidak sempat bertemu dengan korpaskhas termasuk Yon. Berarti aku memang tidak melihat ledakan itu – hanya suaranya yang kuingat. Dan aku ingat, aku melihat langit yang biru.

Jangan-jangan…

“Kau benar,” katanya.

“Aku yang melemparmu keluar dari rumah itu,” jawab Pretty sambil menatapku dengan tajam.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun