Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu...

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Manusia Atlantis (26)

5 April 2015   21:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Malam hari di gurun ini tidak terasa begitu dingin. Beberapa tahun yang lalu keadaan di Irak sama seperti di negara-negara bergurun lainnya di mana temperatur malam hari tidak pernah mencapai 10 derajat Celsius dalam kondisi normal. Keadaan iklim tampaknya sudah berubah entah karena peperangan yang berkecamuk terus tanpa jeda – di mana beberapa kota yang berbatasan dengan negara lain dibakar dengan bom nuklir mikro, kebakaran kilang minyak yang terus-menerus tanpa henti, ataupun pemanasan global, aku pun kurang mengerti.

Yang jelas kondisi ini menguntungkan kami. Temperaturnya cukup nyaman untuk beristirahat.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Pretty.

“Aku baik-baik saja,” jawabku. Aku lebih mengkhawatirkan keadaannya ketimbang keadaanku.

Saat ini kami bertiga – aku, Pretty dan Sheva, sedang menikmati makan malam.

Sheva begitu terampil menyiapkan segala sesuatunya. Dari mendirikan tenda, menyiapkan perimeter keamanan, hingga memasak. Segalanya dilakukan dengan rapi dan cepat. Prajurit TNI memiliki kemampuansurvival yang sangat tinggi. Mereka mampu bertahan hidup di lautan, hutan, gunung, bahkan di gurun dan di kutub – dengan perlengkapan yang minim.

Tetapi aku tidak begitu khawatir dengan kondisi perbekalan kami saat ini. Ransum hasil pampasan perang cukup untuk memenuhi kebutuhan satu minggu ke depan.

Sebenarnya aku tidak begitu suka makananpenduduk lokal di sini, roti pita dan daging kambing yang diawetkan, tetapi Sheva sangat pintar mengolahnya. Bumbu rempah-rempah yang rasanya menyengat berhasil dimodifikasi disesuaikan dengan selera nusantara – selera kami.

“Enak,” Pretty pun memujinya.

“Mau tambah lagi?” tanya Sheva bersemangat. Ia tampaknya senang mendapat pujian dari Pretty.

Pretty mengangkat tangannya dan menggelengkan kepalanya. Rupanya dia sudah kekenyangan. Kulihat Pretty mampu menghabiskan roti pita tersebut – dalam ukuran yang lumayan besar.

“Tambah,” kataku sambil menyodorkan piring ke Sheva.

Sheva dengan cekatan segera mengisi piring kosongku itu. Dia tersenyum. Manis sekali anak ini.

Banyak polwan dan prajurit wanita TNI yang cantik – yang foto-fotonya beredar di media sosial, tetapi foto anggota pasukan khusus, seperti dia, tidak akan pernah ada di sana. Eksistensi dan identitas mereka dirahasiakan negara.

Sekilas aku memandangnya lalu melanjutkan makan malamku.

“Aku giliran jaga pertama,” kata Sheva. Dia sudah menyelesaikan tugasnya merapikan perlengkapan makan malam kami – kecuali piring yang masih ada di tanganku.

“Tidak perlu,” kataku. “Aku tidak memerlukan istirahat ataupun tidur. Aku saja yang berjaga.”

Dia hendak protes tetapi Pretty menyentuh pundaknya dan menganggukkan kepalanya. Sheva akhirnya diam, tidak jadi protes.

Setelah selesai makan, aku segera beranjak mengelilingi tenda kami.

Berdasarkan informasi yang kudapat, malam hari ini hingga esok hari, cuaca akan cerah dan tidak berangin. Bisa kupastikan tidak akan ada badai gurun atau badai pasir. Badai pasir mampu memindahkan bukit-bukit pasir yang berada di sekitar tenda kami dan sekaligus menenggelamkannya, tergantung dari kecepatan dan arah angin tentunya.

Aku berjalan sambil menoleh ke tempat dua wanita itu beristirahat.

Pertemuan dengan mereka betul-betul tidak kusangka sama sekali.

Saat itu aku terkepung.

Aku diteleportasi ke tempat itu – markas kaum militan yang sebelumnya menyandera dua orang pekerja asal Indonesia.

Aku ingat, ketika itu aku langsung melakukan pemetaan posisi orang-orang di sekitarku.

Aku berusaha untuk mengetahui cara tercepat meloloskan diri dari kepungan mereka. Jika aku harus menjatuhkan satu atau dua orang, aku akan memilih target yang paling lemah. Orang tua atau mereka yang bergerak dengan lamban.

Setelah itu aku akan mengambil alih mobil atau kendaraan lainnya untuk melarikan diri dari tempat ini.

Tetapi sensorku menangkap sesuatu. Sesuatu yang sangat familiar. Sesuatu yang menyerupai diriku. Sesuatu itu cyborg!

Ada cyborg di tempat ini? Di antara orang-orang ini?

Sulit kupercaya.

Lokasi cyborg itu kira-kira sepuluh meter di depanku. Arah jam dua.

Aku melihatnya.

Wujud cyborg itu jauh dari rupa seorang manusia. Dia seperti robot. Tubuh biologisnya sudah terkoyak di sana sini memperlihatkan kerangka logamnya. Hanya wajahnya yang masih memperlihatkan sisi manusianya secara lengkap.

Cyborg itu berciri khas orang lokal dengan tinggi tubuh di atas rata-rata. Tinggi badannya sekitar dua meter tiga puluh senti. Dia memegang pedang yang luar biasa panjang. Kuperkirakan panjang mata pedangnya itu satu setengah meter – hampir setinggi tubuh manusia.

Suara-suara berisik terus terdengar. Beberapa orang bahkan mulai bergerak mendekatiku. Mereka semuanya bersenjata dan mengarahkan laras senjata mereka ke arahku.

Aku melakukan simulasi dengan memperhitungkan kemungkinan mereka menembak saat aku bergerak. Kalau aku langsung bergerak maju, beberapa tembakan mereka akan luput. Kalau aku bergerak maju sambil melindungi organ vitalku, aku masih mampu bertahan dengan dua lusin peluru bersarang di tubuhku. Kuperkirakan aku akan mampu menerobos kepungan mereka dalam waktu lima detik. Yang jelas, aku harus menghindari sicyborg raksasa itu.

Sebelum aku memutuskan untuk bergerak, si raksasa malah sudah maju mendahuluiku dan langsung menyabetkan pedangnya ke arahku.

Aku memperkirakan arah gerakan tangannya – pedang dipegang dengan kedua tangan, dia tidak kidal, arah sabetan pedangnya dari kiri atas ke kanan bawah tubuhku.

Too slow! Aku berhasil menghindar.

Pedangnya disabetkan dengan cepat, tetapi gerak langkah majunya yang lamban menyelamatkanku. Aku bergerak melompat ke arah kanan dan luput dari sabetan pedangnya itu.

Kelemahannya ada pada kedua kakinya. Orang yang memiliki tinggi badan lebih dari dua meter biasanya tidak mampu menggerakkan kakinya dengan lincah karena harus mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Tubuh yang tinggi besar serta berat badan di atas rata-rata juga mempengaruhi pergerakan kakinya.

Bagaimana jika kakinya itu kulumpuhkan?

Satu injakan pada tempurung lutut kirinya akan membuat ia sedikit goyah.

Segera kuinjak bagian kakinya tersebut. Tidak berhasil. Tempurung lututnya terpasang dengan kuat.

Aku segera bergerak ke arah belakang cyborg tersebut. Sekarang posisi dia jadi memunggungiku. Kuharap tidak ada orang bodoh yang memanfaatkan kesempatan ini untuk menembakku. Para milisi yang mengelilingiku semua hanya membidikkan senjata mereka ke arahku. Tak ada seorang pun yang menembakkan senjatanya. Mereka seperti takut tembakan mereka meleset dan mengenai si raksasa itu.

Sebelum si raksasa memutar tubuhnya, aku segera melompat dan meraih kepalanya. Dengan putaran yang kuat, leher si raksasa pun berhasil kupatahkan.

Mati. Seperti kuduga, dia merupakan cyborg standar yang tidak memiliki sumber energi cadangan di bagian kepala, sehingga ketika lehernya terputus dengan tubuhnya, otak yang merupakan pusat kendali operasinya menjadi tidak berfungsi dan sistem mekanis di tubuhnya pun langsung berhenti. Saat ini, hampir semua cyborg – termasuk tipe tempur (battle cyborg) sekalipun, belum dilengkapi dengan sumber energi cadangan di bagian kepala mereka. Cyborg yang memiliki lapisan panel surya yang tertanam di bawah kulit sepertiku pun masih sangat langka.

Mereka semua terdiam menyaksikan jagoan mereka kulumpuhkan. Aku meraih pedang si raksasa itu dan mengayun-ayunkannya.

Mereka semua terkejut melihatku mampu menggerakkan pedang itu. Kuperkirakan berat pedang ini sekitar dua puluh kilogram. Lumayan berat buat ukuran manusia biasa, tetapi tidak buatku.

Aku bergerak maju. Mereka serentak mundur beberapa langkah. Kepungan mereka mulai merenggang. Semakin terbuka. Kemungkinanku untuk kabur semakin mudah.

“DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!”

Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dilepaskan ke udara. Suara itu berasal dari senapan mesin.

Aku menoleh ke sumber suara itu.

Tampak sekelompok orang menggunakan beberapa unit kendaraan militer bak terbuka mendekati tempatku berdiri.

Celaka! Mengapa aku bisa lengah? Seharusnya aku sudah mengetahui posisi kendaraan itu sebelumnya.

Aku segera mengidentifikasi beberapa orang pengepungku – milisi-milisi bodoh yang masih terbengong-bengong dengan senjata di tangan mereka. Aku harus merebutnya!

Dengan satu gebrakan aku berhasil menjatuhkan beberapa orang milisi tersebut, mereka terhuyung-huyung terkena sambaran pedang raksasa yang berat itu. Aku sengaja tidak menggunakan bagian tajam pedang tersebut. Aku lalu merebut beberapa senjata otomatis mereka beserta magasinnya dan beberapa granat. Yang lainnya segera membubarkan diri – dan aku terus mengikuti mereka. Sambil berlari, kulemparkan pedang panjang tersebut ke arah kendaraan militer yang terus bergerak menuju posisiku. Lemparanku luput. Gerak maju kendaraan militer itu juga terhambat kerumunan orang-orang yang berlarian di sekelilingku.

Aku berusaha menyamarkan keberadaanku di tengah-tengah mereka. Sambil berlari aku melepaskan beberapa tembakan ke arah kendaraan militer itu. Kendaraan itu sekarang dalam keadaan berhenti dan para penumpangnya bergerak ke arahku. Memburuku. Kuperkirakan mereka merupakan prajurit profesional bukan sekadar milisi biasa. Mereka semuanya memakai seragam militer berkamuflase gurun.

Aku bergerak sangat cepat, mereka semua jauh tertinggal di belakangku. Aku berlari sambil merunduk. Kini aku sudah berada di perkemahan mereka – sekitar satu kilometer dari tempatku semula berada.

“Efran!” terdengar seseorang memanggilku.

Suara panggilan itu mengejutkanku. Biasanya aku tidak pernah langsung menoleh kalau namaku dipanggil di keramaian atau tempat lainnya – sekadar untuk berjaga-jaga. Tetapi di sini? Di gurun di Timur Tengah ini?

Aku menoleh.

Seorang wanita berdiri di depan sebuah kemah beberapa langkah dari tempatku.

“Pretty?” tanyaku. Aku kaget sekali melihatnya ada di sini.

Aku segera menghampirinya. Dia terlihat lemah.

Hasil pemindaianku menunjukkan Pretty baik-baik saja. Hanya saja ia seperti kekurangan cairan sehingga suhu tubuhnya meningkat. Sepertinya dia sempat terkena demam sebelumnya.

Pretty rupanya ditawan di dalam kemah itu. Sheva juga ada bersamanya.

“Kok kamu bisa ada di sini?” tanyaku – belum hilang rasa terkejutku.

“Sudah cukup lama aku menunggumu,” jawabnya.

Menungguku?

Di dalam kemah itu ada beberapa orang wanita lainnya tetapi mereka sepertinya ditugaskan untuk menjaga Pretty dan Sheva agar tidak melarikan diri. Mereka berenam. Semuanya berdiri memandangku – mereka terkejut dengan kehadiranku di kemah itu. Aku melihat mereka semuanya berpakaian khas wanita setempat dan memegang senapan.

Mereka tampak ketakutan melihatku. Aku baru menyadari hal itu setelah melihat berapa banyak senjata yang kubawa. Lebih dari cukup untuk mempersenjatai kami bertiga – aku, Pretty, dan Sheva, serta membunuh keenam wanita itu dan meratakan kemah ini.

Tanpa kuminta mereka segera melemparkan senjata-senjata mereka ke dekat kakiku dan segera berlutut dan langsung membungkukkan badan mereka di karpet kemah tersebut.

“Jangan takut, aku tidak akan melukai kalian,” kataku dalam bahasa Arab.

Sheva dengan sigap mengumpulkan senjata yang mereka lemparkan. Dia juga bergerak cepat menggeledah para wanita itu. Hasilnya cukup mengejutkan – pistol, pisau, granat, dan beberapa magasin. Rupanya mereka belum menyerahkan semuanya!

Kuperhatikan wajah-wajah para wanita itu, sebagian mengenakan cadar. Mereka semuanya menundukkan kepala – bukan karena takut, tetapi memang tidak pantas bagi seorang wanita di sini untuk bertatapan langsung dengan pria yang tidak mereka kenal, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Rasanya kesal sekali mengetahui bahwa mereka menunjukkan sikap menyerah tetapi masih menyembunyikan senjata juga.

“Masih ada lainnya – di situ,” kata Pretty sambil menunjuk tumpukan bantal di sudut bagian dalam kemah itu. Sheva segera memeriksa tempat itu dan benar saja, beberapa senjata berhasil ditemukan. Senjata-senjata itusemuanya langsung diamankan oleh Sheva.

Dengan kekuatan telekinesisnya, Pretty lalu membuat para wanita itu jatuh terduduk tak bisa bergerak. Hanya mata mereka yang terus memperhatikan kami.

“Biar tidak repot nantinya,” katanya – walaupun aku tidak memerlukan penjelasan tersebut.

Yang jadi pertanyaan adalah kenapa dia tidak melakukannya sebelumnya?

Dia menungguku. Mungkin itu alasannya.

Sheva mengambil beberapa senjata itu dan segera bersiap-siap. Tindakan yang tepat. Ya, saat ini, di sini, di antara kami, siapa lagi yang lebih mahir darinya dalam menggunakan senjata?

Sheva mengintip keluar kemah ke arah kedatanganku sebelumnya.

“Masih sekitar dua ratus meter lagi,” kataku.

Sheva tidak menjawab. Dia bersiap-siap.

Begitu para milisi tersebut muncul, dia segera melemparkan granatnya.

Belum cukup jaraknya, pikirku.

Ternyata tujuan Sheva adalah mengacaukan formasi lawan sekaligus mencegah mereka mendekat. Butiran-butiran pasir yang beterbangan akibat ledakan granat tentunya menimbulkan gangguan penglihatan jika sampai mengenai mata mereka.

Beberapa granat kembali dilontarkannya. Sepertinya Sheva menggiring mereka ke arah tertentu.

Aku melihat posisi matahari saat itu.

Sheva membuat mereka berkumpul di tempat yang menghadap matahari! Luar biasa prajurit wanita ini.

Dia sangat yakin para pengepung kami itu tidak akan melemparkan granat ke perkemahan ini. Selain mereka kesulitan karena silau terpapar sinar matahari, perkampungan ini juga merupakan basis logistik mereka. Pretty telah menghipnotis seluruh penghuni perkemahan ini sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang bergerak keluar kemah untuk menghentikan kami.

Kemampuan bertempur Sheva ternyata jauh di atas rata-rata kemampuan para milisi itu – bahkan juga prajurit dengan seragam militer berkamuflase gurun itu. Mereka kucar-kacir dan tampak tidak terorganisasi dengan baik. Begitu menemukan lawan yang lebih hebat, mental mereka langsung anjlok. Disiplin mereka payah sekali.

Padahal dalam pertempuran, disiplin – termasuk di dalam mempertahankan formasi merupakan hal yang esensial. Sehebat apa pun suatu pasukan, jika mereka tidak disiplin dan tidak dapat diatur maka mereka pasti, cepat atau lambat, akan dikalahkan.

Sheva terus mengamat-amati keadaan sekitarnya. Posisi musuh, siapa memegang senapan mesin, yang mana yang hanya bersenjatakan pistol ataupun senapan biasa. Mana lawan yang mahir menembak dan mana yang hanya bisa menembak sekadarnya. Dia betul-betul efisien. Begitu memegang senjata, dia sudah langsung bisa bergerak dan menghantam sasarannya dengan akurat.

Aku tahu Sheva tidak membunuh mereka. Rata-rata tembakan di arahkan di dada kanan mendekati bahu yang langsung melumpuhkan si prajurit. Tembakan tersebut akan langsung menembus ke tulang belikat mereka. Mereka tidak akan mampu lagi mengangkat tangannya, alih-alih menggunakan senjata.

Seperti sudah kuduga, kebanyakan dari mereka tidak memiliki motivasi untuk berperang. Begitu tertembak, mereka langsung mundur melarikan diri. Beberapa kali aku turut melepaskan tembakan dan melemparkan granat untuk menghadang gerak maju mereka.

Namun demikian, kami belum berhasil menahan mereka.

Sementara itu para wanita yang ditugaskan untuk menjaga Pretty dan Sheva tampak terbengong-bengong menyaksikan kesigapan Sheva dalam bertempur. Beberapa wanita penjaga itu sebelumnya dilengkapi dengan senjata dan mereka mampu menggunakannya tentu saja, tetapi bagaimana pun juga mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Sheva.

Walaupun lambat, sebagian pengepung kami berhasil maju mendekati perkemahan ini.

“Biar aku saja,” kata Pretty.

Pretty lalu menciptakan badai pasir untuk mengusir para milisi dan prajurit yang mengepung kami.

Mereka langsung berlarian pontang panting menghindari badai pasir yang muncul tiba-tiba dan langsung bergerak ke arah mereka. Seandainya Pretty dalam kondisi fisik normal, mereka semua tentunya akan tersapu bersih atau bahkan tertimbun bukit pasir yang sebelumnya berada di sekeliling perkemahan ini.

(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun